LAYLA & MAJNUN
(kisah teladan dari negeri sufi)
Oleh: Khoirul Hafidz Fanani)
Seorang kepala suku Bani Umar di Arab telah dianugerahi seorang anak yang sangat dicintai, namanya Qais. Ia anak yang tampan, bermata besar, dan berambut hitam. Ia cerdas dan disukai oleh banyak orang, menjadi pusat perhatian dan kekaguman. Ia juga pintar dalam memainkan musik, menggubah syair dan melukis.
Ketika sudah mencapai umur sekolah, ayahnya membuat sekolah favorit yang di huni oleh murid-murid dari kalangan keluarga terpandang. Pengajarnya pun dari guru yang berkualitas. Di antara mereka, ada murid perempuan yang sangat cantik luar biasa dari keluarga kepala suku tetangga. Rambut dan matanya hitam, sehitam malam. Karena inilah, mereka menyebutnya Layla “malam”. Meski masih berusia dua belas tahun, banyak pria yang menaksir dan mau melamarnya.
Qais dan Layla adalah teman sekelas. Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah saling tertarik. Percikan ketertarikan itu akhirnya menjadi api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah bukan tempat belajar lagi, melainkan sebagai ajang bertemu. Ketika guru sedang mengajar, mereka saling berpandangan. Ketika tiba waktunya menulis, mereka justru saling menulis namanya di kertas. Bagi mereka dunia hanya milik berdua, Qais dan Layla saja.
Lama-kelamaan, hubungan cinta mereka mulai diketahui khalayak umum. Bisik-bisik, gunjingan-gunjingan pun mulai terdengar. Ketika ayah Layla juga mendengar berita tersebut, ia melarang Layla untuk tidak sekolah lagi. Karena baginya, tidak pantas anak gadis seusia Layla menjadi pusat sasaran cinta kaum pria. Qais pun akhirnya menjadi gelisah karena sudah tidak melihat Layla lagi di dalam kelas. Ia keluar dari sekolah dengan berjalan menelusuri sungai seraya melantunkan syair-syair yang berisi tentang Layla. Ia tidak mau bicara dengan orang kecuali bicara tentang Layla. Ia tidak mau menjawab pertanyaan orang, kalau tidak bertanya tentang Layla. Orang pun tertawa dan berkata, “Lihatlah ia, ia seorang Majnun, “gila”. Akhirnya ia dikenal dengan nama ini.
Melihat orang-orang melihat dirinya, menggunjing dirinya, Majnun kemudian mencari tempat di sebuah bukit untuk dibuat tempat tinggal. Ia sadar, Layla telah dipingit oleh orang tuanya, dan sulit bertemu dengannya. Ia kemudian mencari tempat yang bersebelahan dengan desa Layla, dan membangun gubuk yang menghadap ke desa kekasihnya itu. Sepanjang hari ia duduk-duduk di depan gubuknya, sambil bernyanyi tentang Layla, daun-daun dan bunga diambil kemudian di letakkan di atas sungai yang mengalir ke arah desa Layla untuk dititipi salam. Burung-burung di sapa dan diminta terbang menuju ke desa kekasihnya untuk menyampaikan salam rindunya. Angin Barat yang datang dari arah desa Layla dihirupnya. Pokoknya semua yang datang dari desa kekasihnya itu dikasihi dan disayangi.
Waktu terus berjalan, bulan demi bulan, Majnun tidak menemukan jejak kekasihnya lagi, sementara kerinduannya semakin menjadi-jadi, sampai akhirnya ia kelihatan menderita, badannya lusuh, tubuhnya kurus, dan pakaiannyapun compang-camping tak terurus. Tapi bagi Majnun, dirinya masih terasa kuat dan sehat, karena setiap hari masih bisa memanggil-manggil nama Layla.
Sahabat-sahabat sekolahnya dulu, telah mengunjunginya, tapi ia tidak mau bicara kecuali tentang Layla saja. Penderitaan Majnun ini, akhirnya menjadi perhatian ayahnya. Ayahnya kemudian memutuskan untuk melamar Layla atas anaknya. Ia menyiapkan kafilah dan hadiah yang penuh dengan barang berharga, kemudian dikirimkan ke desa Layla. Ketika masuk ke desa Layla, sang tamu disambut gembira oleh keluarga Layla. Mereka sama-sama cerita tentang keluarga dan anaknya masing-masing dengan suasana ceria. Ketika ayah Majnun mulai bicara tentang keinginannya melamarkan Layla untuk anaknya, ayah Layla menjawab, “Bukannya akau menolak Qais. Aku percaya kepadamu, sebab engkau pastilah orang yang terpandang dan terhormat. Akan tetapi engkau tidak bisa menyalahkanku, kalau aku berhati-hati terhadap anakmu. Semua orang tahu perilaku abnormalnya. Ia berpakaian seperti pengemis, ia pasti sudah lama tidak mandi. Ia hidup bersama hewan-hewan dan menjahui orang banyak. Tolong katakan kawan, jika engkau punya anak perempuan dan engkau berada dalam posisiku, akankah engkau memberikan anak perempuanmu kepada anakku?”. Ayah Qais tidak bisa berbuat apa-apa, karena menyadari anaknya memang demikian. Padahal dulu anaknya adalah teladan bagi teman sebayanya. Ia terkenal cerdas di kalangan wilayah jazirah Arab.
Ayahnya terus berpikir, bagaimana caranya supaya Majnun sembuh dari penyakit gila-nya. Akhirnya kemudian, ayahnya mengadakan acara pesta besar dengan makanan yang lezat-lezat. Gadis-gadis cantik dari negeri tetangga didatangkan dibuat untuk menghibur anaknya. Saat pesta dimulai, Majnun duduk sendirian sambil termenung, memperhatikan gadis-gadis yang lalu-lalang di depannya. Ia memperhatikan dengan seksama dan mencari barangkali ada yang mirip dengan Layla. Ada yang mirip pakaiannya, ada yang mirip rambutnya saja, dan senyumannya saja. Tetapi semuanya tidak dapat menghiburrnya, malah justru menyiksa batinnya. Hatinya terasa tersayat-tersayat ketika melihat orang-orang yang berada di sekelilingnya. Ia kesal dan marah kepada semuanya, karena ia anggap mereka, termasuk ayahnya, telah mengelabuhinya. Ia kemudian menangis dan menjerit keras sampai akhirnya jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Sesudah petaka ini, sang ayah kemudian mengajak Majnun ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Dengan harapan Allah telah merahmatinya, dan membebaskan dari penyakit gila-nya kepada Layla. Di sana, Majnun bersimpuh di hadapan Ka’bah lalu berdoa, “Wahai Yang Maha Pengasih, Raja Diraja, Engkau Dzat yang menganugerahkan cinta, maka tinggikanlah cintaku dan kekasihku”. Kemudian ayahnya mendengar, dan akhirnya ia pasrah dan merasa tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk anaknya.
Usai menunaikan haji, Majnun tidak mau lagi bergaul dengan masyarakat. Ia menjauh, mencari tempat yang sepi dari pandangan orang lain. Ia tidak kembali ke gubuk deritanya lagi. Tetapi kemudian, ia menemukan reruntuhan bangunan untuk ditempatinya.
Berita tentang Majnun sudah tidak terdengar lagi oleh masyarakat. Mereka sudah tidak tahu lagi di mana Majnun berada. Sampai akhirnya, orang tuanya mengirim utusan untuk mencari keberadaannya. Utusan tersebut kembali dengan tangan hampa, tidak menemukan jejak Majnun. Mereka mengira, Majnun telah mati dimakan oleh binatang buas gunung sahara.
Suatu hari, seorang musafir melewati reruntuhan bangunan di mana Majnun tinggal. Musafir itu kemudian melihat sosok aneh duduk di sebuah tembok yang hancur. Tubuhnya kurus, rambutnya panjang hingga ke bahu, jenggotnya panjang dan acak-acakan, serta bajunya compang-camping dan kumal. Ketika sang musafir mengucapkan salam, tapi tidak mendapatkan jawaban, ia mendekatinya dan melihat ada seekor srigala yang tidur di kakinya. “Hus”, kata sang musafir. Baru sosok aneh tersebut berbicara, “jangan bangunkan sahabatku”, kemudian ia memandang ke arah kejauhan. Musafir pun duduk di situ dengan tenang. Ia menunggu dan penuh penasaran apa yang akan terjadi. Akhirnya orang aneh itu berbicara, barulah tahu bahwa dia adalah Majnun yang terkenal di seantero jagad Arab.
Nampaknya Majnun memang sudah bersahabat dengan binatang-bintang yang ada di situ. Berbagai macam binatang tidak ada yang mengganggunya, karena Majnun juga tidak pernah menyakitinya, bahkan menyayanginya. Sang musafir kemudian mendengarkan Majnun yang telah melantunkan dan menggubah syair-syair cintanya kepada Layla. Akhirnya sang musafir pergi dan meninggalkan Majnun untuk melanjutkan perjalanannya.
Ketika musafir sampai di desa Majnun, ia menuturkan kisahnya pada orang-orang, yang akhirnya sampai terdengar oleh ayah Majnun. Begitu mendengar, ayah Majnun memanggil musafir untuk diminta keterangan perihal anaknya. Merasa gembira dan bahagia, karena Majnun masih hidup, ayahnya pergi ke gurun sahara untuk menemui dan menjemputnya. Ketika melihat reruntuhan bangunan seperti yang digambarkan musafir itu, ayah Majnun sangat marah, karena merasa anaknya telah terjembab ke dalam jurang kehinaan. “Ya Tuhan, aku mohon agar Engkau menyelamatkan anakku dan mengembalikan kepada keluarga kami”, jerit kepala suku tersebut. Majnun mendengar doa ayahnya, dan segera keluar dari tempat persembunyiannya, lalu bersimpuh di kaki ayahnya. Majnun menangis, sambil berkata, “Wahai ayah, ampunilah aku atas segala kepedihan yang kutimbulkan ke padamu, lupakanlah bahwa engkau telah mempunyai anak, karena ini akan mengurangi beban ayah. Sebab ini adalah sudah nasibku ‘mencinta’, dan hidup untuk mencinta. Ayah dan anakpun kemudian saling berpelukan dan menangis tersedu-sedu. Inilah pertemuan terakhir mereka.
Sisi lain, keluarga Layla telah menyalahkan ayahnya lantaran salah dalam mendidik dan mengatasi problem ini. Dengan dipingitnya Layla dalam kamar, akhirnya Layla pun tidak mau keluar dari kamar, kecuali ke taman saja. Ia berdiam diri terus menerus di dalam kamar sambil merindukan kekasih tercintanya. Beberapa teman telah mengunjunginya, tetapi Layla tetap tidak mau ditemani oleh siapapun. Ia merasa betah di dalam kamar sendirian sambil memelihara api cinta yang membakar dalam kalbunya. Untuk mengungkapkan perasaannya yang mendalam, ia menulis dan menggubah syair kepada kekasihnya lalu ditulis di atas`potongan kertas-kertas kecil. Ketika diperbolehkan menyendiri di taman, ia menerbangkan kertas-kertas kecil ini melalui hembusan angin. Orang-orang yang menemukan kertas-kertas ini, kemudian membawanya kepada Majnun. Dengan demikian dua insan yang dimabuk cinta ini masih bisa menjalin hubungan.
Karena Majnun sangat terkenal di seluruh negeri, banyak orang mengunjunginya. Mereka mendengarkan syair-syair cintanya yang indah dan kidung pujian-pujiannya kepada Layla. Majnun memainkan serulingnya yang sangat memukau. Banyak yang merasa iba kepadanya, tapi sebagian ada yang sekedar ingin tahu tentang kisahnya. Merekapun dapat merasakan kedalaman cinta dan kasih sayangnya kepada semua makhluk. Tapi mereka tidak bisa lama-lama di situ, karena tahu Majnun tidak betah lama-lama dikunjungi orang banyak.
Salah satu dari pengunjung itu, ada seorang kesatria gagah berani bernama Amr. Ia pernah berjumpa Majnun ketika perjalanannya ke Mekkah. Meskipun ia sudah mendengar kisah cinta yang sangat terkenal itu di kotanya sendiri, ia ingin melihat dan mendengar dari mulut Majnun sendiri. Drama kisah tragis itu membuatnya pilu dan sedih, sehingga ia bersumpah dan bertekad untuk melakukan apa saja demi mempersatukan dua kekasih itu, meskipun harus banyak rintangan yang dihadapi.
Kembali ke kota kelahirannya, Amr kemudian menghimpun pasukan untuk menghancurkan suku yang ada di desa Layla. Akhirnya pertempuranpun terjadi. Banyak korban berjatuhan yang meninggal maupun terluka akibat serangan pasukan yang dipimpin Amr. Ketika pasukan Amr hampir memenangkan pertempuran, Ayah Layla mengirim pesan kepada Amr, “Jika engkau atau salah satu dari prajuritmu menginginkan putriku, maka akan aku serahkan, bahkan mau membunuh putriku, aku akan menyerahkannya, Tapi ada satu hal yang tidak akan aku lakukan, yakni menyerahkan putriku kepada orang ‘gila’ itu”.
Di medan pertempuran, Majnun berjalan lalu-lalang dengan bebas di tengah-tengah orang berperang. Ia menghampiri orang-orang terluka dari suku Layla, ia tolong mereka, dan ia rawat dengan penuh perhatian. Amr kemudian bertanya kepada Majnun kenapa sampai melakukan hal itu, ia jawab, “Orang-orang ini berasal dari desa kekasihku, bagaimana mungkin aku membenci dan memusuhinya?”. Amr jadi tidak mengerti dan bingung perihal yang dilakukan Majnun. Apa yang dikatakan ayah Layla tentang orang ‘gila’ ini membuatnya sadar. Akhirnya ia meminta pasukannya untuk mundur dari medan perang dan pergi meninggalkan desa itu tanpa mengucapkan apa-apa.
Sementara Layla tetap merana dalam penjara kamarnya sendiri. Kadang ia berjalan-jalan di taman sambil bernyanyi lagu-lagu cintanya. Suatu hari ada seorang bangsawan kaya raya, Ibnu Salam namanya, melihat sosok Layla yang sangat cantik jelita, ia tertarik dan segera menjumpai ayah Layla untuk melamarnya. Diterimalah lamaran itu oleh ayah Layla. Tentu saja Layla menolak keras, ia mengatakan kepada ayahnya,”Aku lebih senang mati dari pada kawin dengan orang itu”. Ia lari kepada ibunya, tapi sama saja tetap tidak digubris.
Perkawinanpun berlangsung dalam waktu singkat. Orang tua Layla merasa lega karena seluruh cobaan yang menimpa anakknya telah berakhir. Akan tetapi Layla menegaskan kepada suaminya,”Aku tidak pernah menjadi seorang istri, karena itu jangan membuang waktu, segeralah cari istri lain yang dapat membuat kamu bahagia”. Ibn Salam tidak memperdulikan ucapan Layla, ia pikir suatu ketika dia pasti jatuh ke dalam pelukannya.
Majnun mendengar berita perkawinan Layla, ia menangis dan meratap selama beberapa hari. Ia melantunkan lagu-lagu yang demikian menyayat hati dan mengharu-biru kalbu, sehingga semua orang yang mendengarpun ikut menangis. Derita dan kepedihannya begitu berat sampai binatang-binatang yang ada di sekelilingnya ikut bersedih. Tapi tak lama kemudian Majnun sadar bahwa ia harus mengucapkan selamat kepada Layla. Ia kirim surat kepada kekasihnya itu,”Semoga kalian berdua dapat hidup bahagia, hanya satu pesanku, jangan engkau lupakan namaku, meski engkau milik orang lain. Jangan engkau lupakan, bahwa ada orang yang sangat mencintaimu, meski tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan memanggil-manggil namamu, Layla”.
Sebagai jawabannya, Layla mengirimkan sebuah anting-anting sebagai tanda pengabdiannya. Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan,”Dalam hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaatpun. Kupendam cintaku demikian lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan cintamu kepada seluruh dunia, sementara aku membakar di dalam, dan engkau membakar cintamu di sekitarmu. Kini aku harus menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwa menjadi milik orang lain. Katakan kepadaku ‘kasih’...mana di antara kita yang dimabuk cinta, engkau ataukah aku”.
Tahun demi tahun terus berlalu, orang tua Majnun meninggal dunia, tapi Majnun tetap tinggal di reruntuhan bangunan itu dan merasa lebih kesepian dibanding sebelumnya. Di siang hari, ia mengarungi gurun sahara bersama sahabat-sahabat binatangnya. Di malam hari, ia memainkan serulingnya dengan melantunkan syair-syair kepada binatang buas, yang kini menjadi satu-satunya pendengar setianya. Ia menulis syair-syair cinta untuk Layla dengan ranting di atas tanah. Selang berapa lama, ia terbiasa dengan kehidupan yang aneh ini, ia menemukan kedamaian dan ketenangan dalam hatinya, sehingga tak ada satupun yang dapat mengganggu dan mengusiknya.
Sementara Layla tetap setia pada cintanya. Ibn Salam, suaminya merasa tidak pernah bisa mendekatinya, kendatipun ia hidup bersamanya. Ia sudah tidak sanggup lagi mengambil kepercayaan hati istrinya. Hidupnya terasa hambar dan sia-sia. Mereka berdua ibarat orang asing yang tidak saling kenal. Tak sepatah katapun yang keluar dari bibir mereka kecuali kalau ditanya. Mereka tidak pernah bicara. Dan akhirnya Ibn Salam jatuh sakit, tidak kuasa bertahan, sebab hidupnya dirasa tidak menjanjikan lagi. Pada musim panas, Ibn Salam meninggal dunia. Kematian suaminya ini, telah mengaduk-aduk perasaan Layla. Orang-orang mengira, ia sedih karena ditinggal suaminya, padahal sesungguhnya ia telah menangisi kekasihnya yang hilang, yang telah lama dirindukannya. Ia menangis keras dan lama sekali.
Setelah itu, Layla kembali ke rumah orang tuanya. Meski usianya masih muda, Layla tampak tua, dan kusut. Tapi ia kelihatan dewasa dibanding wanita seusianya.. Tak lama kemudian, kesehatannya telah digerogoti oleh perasaan api cintanya yang mendalam. Ia jatuh sakit, tidak mau makan dan tidur dengan baik selama beberapa malam. Ia tidak pernah memikirkan kesehatannya lagi. Bagaimana tidak, kalau yang dipikirkannya hanyalah Majnun semata. Sakitnya bertambah parah, dan ketika nyawa mau merenggutnya, ia masih memikirkan Majnun, ia hanya membuka matanya untuk memandang pintu kalau-kalau kekasihnya datang. Namun ia sadar, waktunya sudah habis, dan ia akan pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan kepada kekasih tercintanya. Pada suatu malam musim dingin, Layla menghembuskan nafasnya yang terakhir, matanya menatap pintu, ia meninggal dunia sambil bergumam, “Majnun”.
Kabar kematian Layla menyebar ke seluruh penjuru negeri. Tak terkecuali, Majnun, juga mendengar berita itu. Ia jatuh pingsan di tengah gurun sahara selama beberapa hari. Ketika sudah siuman, ia pergi menuju desa Lyala dengan kondisi tidak bisa berjalan lagi. Ia menyeret tubuhnya di atas tanah hingga sampai di desa Layla. Ia bergerak terus tanpa henti sampai akhirnya ia menemukan kuburan Layla. Ia berkabung di kuburan kekasihnya sampai beberapa hari. Ia letakkan kepalanya di atas kuburan Layla dengan diiringi kepedihan hati yang sangat mendalam. Akhirnya..., Majnun kekasih setia Layla itu meninggal dunia dengan posisi memeluk kuburan Layla. Ia meninggal dunia untuk selamanya.
Jasad Majnun tetap berada di atas kuburan Layla selama hampir satu tahun. Ketika peringatan satu tahun kematian Layla, kuburannya diziarahi oleh beberapa orang, termasuk teman sekolahnya dulu. Mereka menemukan sosok terbujur kaku di atas kuburan Layla. Sebagian dari mereka mengenalinya, bahwa itu adalah jasadnya Majnun. Akhirnya ia pun di kubur di sebelah kuburan Layla. Tubuh dua kekasih itu, kini telah kembali bertemu, dan bersatu dalam keabadian.
Konon, tak lama sesudah itu, ada seorang ahli ibadah (sufi) bermimpi melihat Majnun hadir di hadapan Tuhan. Tuhan membelai Majnun dengan penuh kasih sayang dan mendudukkannya di sisi-Nya. Lalu Tuhan berkata kepada Majnun, “Tidakkah engkau malu memangil-manggil-Ku dengan nama Layla, setelah engkau meminum anggur Cinta-Ku?”. Sang sufi pun bangun dalam keadaan gelisah. Jika Majnun diperlakukan sangat baik penuh kasih sayang oleh Tuhan, lalu bagaimana dengan Layla yang malang itu?. Begitu pikiran itu terlintas dalam benaknya, Tuhan mengirimkan ilham jawaban kepadanya, “Kedudukan Layla lebih tinggi, sebab ia menyembunyikan dan merahasiakan Cinta dalam dirinya”.[hafana]



06:31
IPNU - IPPNU Kec. Bululawang

