Selamat Datang di Web:

IKATAN PELAJAR NAHDLATUL ULAMA
IKATAN PELAJAR PUTRI NAHDLATUL ULAMA
BULULAWANG-MALANG-JAWA TIMUR

Tuesday, 28 June 2011

Ustad Narko Bercerita bagini: baca rekan


Nabi Musa AS suatu hari sedang berjalan-jalan melihat keadaan ummatnya. Nabi Musa AS melihat seseorang sedang beribadah. Umur orang itu lebih dari 500 tahun. Orang itu adalah seorang yang ahli ibadah. Nabi Musa AS kemudian menyapa dan mendekatinya. Setelah berbicara sejenak ahli ibadah itu bertanya kepada Nabi Musa AS, Wahai Musa AS aku telah beribadah kepada Allah SWT selama 350 tahun tanpa melakukan perbuatan dosa. Di manakah Allah SWT akan meletakkanku di Sorga-Nya?. Tolong sampaikan pertanyaanku ini kepada Allah. Nabi Musa AS mengabulkan permintaan orang itu. Nabi Musa AS kemudian bermunajat memohon kepada Allah SWT agar Allah SWT memberitahukan kepadanya di mana ummatnya ini akan ditempatkan di akhirat kelak. Allah SWT berfirman, "Wahai Musa (AS) sampaikanlah kepadanya bahwa Aku akan meletakkannya di dasar Neraka-Ku yang paling dalam". Nabi Musa AS kemudian mengabarkan kepada orang tersebut apa yang telah difirmankan Allah SWT kepadanya. Ahli ibadah itu terkejut. Dengan perasaan sedih ia beranjak dari hadapan Nabi Musa AS. Malamnya ahli ibadah itu terus berfikir mengenai keadaan dirinya. Ia juga mulai terfikir bagai mana dengan keadaan saudara-saudaranya, temannya, dan orang lain yang mereka baru beribadah selama 200 tahun, 300 tahun, dan mereka yang belum beribadah sebanyak dirinya, di mana lagi tempat mereka kelak di akhirat. Keesokan harinya ia menjumpai Nabi Musa AS kembali. Ia kemudian berkata kepada Nabi Musa AS, "Wahai Musa AS, aku rela Allah SWT memasukkan aku ke dalam Neraka-Nya, akan tetapi aku meminta satu permohonan. Aku mohon agar setelah tubuhku ini dimasukkan ke dalam Neraka maka jadikanlah tubuhku ini sebesar-besarnya sehingga seluruh pintu Neraka tertutup oleh tubuhku jadi tidak akan ada seorang pun akan masuk ke dalamnya". Nabi Musa AS menyampaikan permohonan orang itu kepada Allah SWT. Setelah mendengar apa yang disampaikan oleh Nabi Musa AS maka Allah SWT berfirman, "Wahai Musa (AS) sampaikanlah kepada ummatmu itu bahwa sekarang Aku akan menempatkannya di Surga-Ku yang paling tinggi".

Onta Bisa Bicara gara2 bersholawat


Pada zaman Rasulullah s.a.w, ada seorang Yahudi yang menuduh orang Muslim mencuri untanya. Maka dia datangkan empat orang saksi palsu dari golongan munafik. Nabi s.a.w lalu memutuskan hukum unta itu milik orang Yahudi dan memotong tangan Muslim itu sehingga orang Muslim itu kebingungan. Maka ia pun mengangkatkan kepalanya menengadah ke langit seraya berkata, "Tuhanku, Engkau Maha Mengetahui bahwa sesungguhnya aku tidak mencuri unta itu."
Selanjutnya orang Muslim itu berkata kepada Nabi s.a.w, "Wahai Rasulullah, sungguh keputusanmu itu adalah benar, akan tetapi mintalah keterangan dari unta ini."

Kemudian Nabi s.a.w bertanya kepada unta itu, "Hai unta, milik siapakah engkau ini ?"
Unta itu menjawab dengan kata-kata yang fasih dan terang, "Wahai Rasulullah, aku adalah milik orang Muslim ini dan sesungguhnya para saksi itu adalah dusta."
Akhirnya Rasulullah s.a.w berkata kepada orang Muslim itu, "Hai orang Muslim, beritahukan kepadaku, apakah yang engkau perbuat, sehingga Allah Taala menjadikan unta ini dapat bercakap perkara yang benar."
Jawab orang Muslim itu, "Wahai Rasulullah, aku tidak tidur di waktu malam sehingga lebih dahulu aku membaca selawat ke atas engkau sepuluh kali."

Rasulullah s.a.w bersabda,
"Engkau telah selamat dari hukum potong tanganmu di dunia dan selamat juga dari seksaan di akhirat nantinya dengan sebab berkatnya engkau membaca selawat untukku."
Memang membaca selawat itu sangat digalakkan oleh agama sebab pahala-pahalanya sangat tinggi di sisi Allah. Lagi pula boleh melindungi diri dari segala macam bencana yang menimpa, baik di dunia dan di akhirat nanti. Sebagaimana dalam kisah tadi, orang Muslim yang dituduh mencuri itu mendapat perlindungan daripada Allah melalui seekor unta yang menghakimkannya.

Monday, 13 June 2011

Motivasi Kehidupan


DOA YANG DIKABULKAN



[1]. Doa Seorang Muslim Terhadap Saudaranya Dari Tempat Yang Jauh

Dari Abu Darda' bahwa dia berkata bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tidaklah seorang muslim berdoa untuk saudaranya yang tidak di hadapannya, maka malaikat yang ditugaskan kepadanya berkata : "Amin, dan bagimu seperti yang kau doakan". [Shahih Muslim, kitab Doa wa Dzikir bab Fadli Doa fi Dahril Ghalib].

Imam An-Nawawi berkata bahwa hadits di atas menjelaskan tentang keutamaan seorang muslim mendoakan saudaranya dari tempat yang jauh, jika seandainya dia mendoakan sejumlah atau sekelompok umat Islam, maka tetap mendapatkan keutamaan tersebut. Oleh sebab itu sebagian ulama salaf tatkala berdoa untuk diri sendiri dia menyertakan saudaranya dalam doa tersebut, karena disamping terkabul dia akan mendapatkan sesuatu semisalnya. [Syarh Shahih Muslim karya Imam An-Nawawi 17/49]

Dari Shafwan bin Abdullah bahwa dia berkata : Saya tiba di negeri Syam lalu saya menemui Abu Darda' di rumahnya, tetapi saya hanya bertemu dengan Ummu Darda' dan dia berkata : Apakah kamu ingin menunaikan haji tahun ini ? Saya menjawab : Ya. Dia berkata : Doakanlah kebaikan untuk kami karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda.

"Artinya : Doa seorang muslim untuk saudaranya yang tidak ada di hadapannya terkabulkan dan disaksikan oleh malaikat yang ditugaskan kepadanya, tatkala dia berdoa untuk saudaranya, maka malaikat yang di tugaskan kepadanya mengucapkan : Amiin da bagimu seperti yang kau doakan". Shafwan berkata : "Lalu saya keluar menuju pasar dan bertemu dengan Abu Darda', beliau juga mengutarakan seperti itu dan dia meriwayatkannya dari Nabi. [Shahih Muslim, kitab Dzikir wa Doa bab Fadlud Doa Lil Muslimin fi Dahril Ghaib 8/86-87]

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa jika seorang muslim mendoakan saudaranya kebaikan dari tempat yang jauh dan tanpa diketahui oleh saudara tersebut, maka doa tersebut akan dikabulkan, sebab doa seperti itu lebih berbobot dan ikhlas karena jauh dari riya dan sum'ah serta berharap imbalan sehingga lebih diterima oleh Allah. [Mir'atul Mafatih 7/349-350]

Catatan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata bahwa Imam Karmani menukil dari Al-Qafary bahwa ucapan doa seorang : "Ya Allah ampunilah dosa semua kaum muslimin" adalah doa terhadap sesuatu yang mustahil sebab pelaku dosa besar mungkin masuk Neraka dan masuk Neraka bertolak belakang dengan permohonan pengampunan, bisa saja pelaku dosa besar di doakan, sebab yang mustahil adalah mendoakan pelaku dosa besar yang kekal di Neraka, selagi masih bisa keluar karena syafaat atau dimaafkan, maka itu termasukpengampunansecarakeseluruhan.

Ucapan orang di atas bertentangan dengan doa Nabi Nuh 'Alaihis Salam dalam firman AllahSubhanahuwaTa'ala.

"Artinya : Ya Rabb! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang-orang mukmin yang masuk ke rumahku dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan". [Nuh : 28].

Dan juga bertentangan dengan doa Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam dalam firman Allah SubhanahuwaTa'ala.

"Artinya : Ya Rabbi, ampunilah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab". [Ibrahim : 41]

Serta Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga diperintahkan seperti itu yang
terdapat dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan". [Muhammad : 19]

Yang jelas permohonan dengan lafazh umum tidak mengharuskan permohonan untuk setiap orang secara kolektif. Mungkin yang dimaksud oleh Al-Qafary bahwa mendoakan kaum muslimin secara kolektif dilarang bila seorang yang berdoa menginginkan keseluruhan tanpa pengecualian dan bukan pelarangan terhadap syariat doanya. [Fathul Bari 11/202]

[2]. Orang yang Memperbanyak Berdoa Pada Saat Lapang Dan Bahagia

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.


"Artinya :Barangsiapa yang ingin doanya terkabul pada saat sedih dan susah, maka hendaklah memperbanyak berdoa pada saat lapang". [Sunan At-Tirmidzi, kitab Da'awaat bab Da'watil Muslim Mustajabah 12/274. Hakim dalam Mustadrak. Dishahihkan oleh Imam Dzahabi 1/544. Dan di hasankan oleh Al-Albani No. 2693].

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa makna hadits di atas adalah hendaknya seseorang memperbanyak doa pada saat sehat, kecukupan dan selamat dari cobaan, sebab ciri seorang mukmin adalah selalu dalam keadaan siaga sebelum membidikkan panah. Maka sangat baik jika seorang mukmin selalu berdoa kepada Allah sebelum datang bencana berbeda dengan orang kafir dan zhalim sebagaimana firman Allah SubhanahuwaTa'ala.

"Artinya : Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya ; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu". [Az-Zumar : 8].

DanfirmanAllah.

"Artinya : Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya". [Yunus : 12. Mir'atul Mafatih7/360]

Wahai orang yang ingin dikabulkan doanya, perbanyaklah berdoa pada waktu lapang agar doa Anda dikabulkan pada saat lapang dan sempit.


[3].OrangYangTeraniaya

Dari Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallambersabda.

"Artinya : Takutlah kepada doa orang-orang yang teraniyaya, sebab tidak ada hijab antaranya dengan Allah (untuk mengabulkan)". [Shahih Muslim, kitab Iman 1/37-38]

Dari Abu Hurairah bahwa dia berkata bahwasanya Rasulullah bersabda.

"Artinya : Doanya orang yang teraniaya terkabulkan, apabila dia seorang durhaka, maka kedurhakaannya akan kembali kepada diri sendiri". [Musnad Ahmad 2/367. Dihasankan sanadnya oleh Mundziri dalam Targhib 3/87 dan Haitsami dalam Majma' Zawaid 10/151, dan Imam 'Ajluni No. 1302]

[4] & [5]. Doa Orang Tua Terhadap Anaknya Dan Doa Seorang Musafir.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda.

"Artinya : Tiga orang yang doanya pasti terkabulkan ; doa orang yang teraniyaya;doa seorang musafir dan doa orang tua terhadap anaknya". [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Do'a bi Dhahril Ghaib 2/89. Sunan At-Tirmidzi, kitab Al-Bir bab Doaul Walidain 8/98-99. Sunan Ibnu Majah, kitab Doa 2/348 No. 3908. Musnad Ahmad 2/478. Dihasankan Al-Albani dalam Silsilah Shahihah No. 596]

[6].DoaOrangYangSedangPuasa

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu bahwa dia berkata bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tiga doa yang tidak ditolak ; doa orang tua terhadap anaknya ; doa orang yang sedang berpuasa dan doa seorang musafir". [Sunan Baihaqi, kitab Shalat Istisqa bab Istihbab Siyam Lil Istisqa' 3/345. Dishahihkan oelh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah No. 1797].

[7]. Doa Orang Dalam Keadaan Terpaksa.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepadanya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi ? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu menginga(Nya)". [An-Naml : 62]

Imam As-Syaukani berkata bahwa ayat diatas menjelaskan betapa manusia sangat membutuhkan Allah dalam segala hal terlebih orang yang dalam keadaan terpaksa yang tidak mempunyai daya dan upaya. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang terpaksa adalah orang-orang yang berdosa dan sebagian yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud terpaksa adalah orang-orang yang hidup dalam kekurangan, kesempitan atau sakit, sehingga harus mengadu kepada Allah. Dan huruf lam dalam kalimat Al-Mudhthar untuk menjelaskan jenis bukan istighraq (keseluruhan). Maka boleh jadi ada sebagian orang yang berdoa dalam keadaan terpaksa tidak dikabulkan dikarenakan adanya penghalang yang menghalangi terkabulnya doa tersebut. Jika tidak ada penghalang, maka Allah telah menjamin bahwa doa orang dalam keadaan terpaksa pasti dikabulkan. Yang menjadi alasan doa tersebut dikabulkan karena kondisi terpaksa bisa mendorong seseorang untuk ikhlas berdoa dan tidak meminta kepada selain-Nya. Allah telah mengabulkan doa orang-orang yang ikhlas berdoa meskipun dari orang kafir, sebagaimana firman Allah.

"Artinya : Sehingga tatkala kamu di dalam bahtera, dan meluncurkan bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan keta'atan kepada-Nya semata-mata'. (Mereka berkata) : 'Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami termasuk orang-orang yang bersyukur". [Yunus : 22]

Dan Allah berfirman dalam ayat lain

"Artinya : Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Alla)". [Al-Ankabut : 65].

Dari ayat di atas Allah mengabulkan doa mereka, padahal Allah tahu bahwa mereka pasti akan kembali kepada kesyirikan. [Fathul Qadir 4/146-147]

Imam Ibnu Katsir berkata bahwa Imam Hafizh Ibnu 'Asakir mengisahkan seorang yang bernama Abu Bakar Muhammad bin Daud Ad-Dainuri yang terkenal dengan kezuhudannya. Orang tersebut berkata : "Saya menyewakan kuda tunggangan dari Damaskus ke negeri Zabidany, pada satu ketika ada seorang menyewa kuda saya dan meminta untuk melewati jalan yang tidak pernah saya kenal sebelumnya", Dia berkata : "Ambillah jalan ini karena lebih dekat". Saya bertanya : "Bolehkah saya memilih jalan ini", Dia berkata : "Bahkan jalan ini lebih dekat". Akhirnya kami berdua menempuh jalan itu sehingga kami sampai pada suatu tempat yang angker dan jurangnya yang sangat curam yang di dalamnya terdapat banyak mayat. Orang tersebut berkata : "Peganglah kepala kudamu, saya akan turun". Setelah dia turun dan menyingsingkan baju lalu menghunuskan golok bermaksud ingin membunuh saya, lalu saya melarikan diri darinya, akan tetapi dia mampu mengejarku. Saya katakan kepadanya : "Ambillah kudaku dan semua yang ada padanya". Dia berkata : "Kuda itu sudah milikku, tetapi aku ingin membunuhmu". Saya mencoba menasehati agar dia takut kepada Allah dan siksaan-Nya tetapi ternyata dia seorang yang tidak mudah menerima nasehat, akhirnya saya menyerahkan diri kepadanya.

Saya berkata kepadanya : "Apakah anda mengizinkan saya untuk shalat?" Dia berkata : "Cepat shalatlah!" Lalu saya beranjak untuk shalat akan tetapi badan saya gemetar sehingga saya tidak mampu membaca ayat Al-Qur'an sedikitpun dan hanya berdiri kebingungan. Dia berkata : "cepat selesaikan shalatmu!", maka setelah itu seakan-akan Allah membukakan mulut saya dengan suatu ayat yang berbunyi.

"Artinya : Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepadanya, dan yang menghilangkan kesusahan". [An-Naml : 62]

Tidak terduga muncul dari mulut bukit seorang satria datang ke arah kami dengan menggemgam tombak di tangannya, lalu melempar tombak tersebut ke arah orang tadi dan tombak pun mengenai jantungnya lalu seketika itu orang tersebut langsung mati terkapar. Setelah itu, maka saya memegang erat-erat satria tersebut dan saya bertanya : "Demi Allah siapakah engkau sebenarnya?" Dia mejawab : "Saya adalah utusan Dzat Yang Maha Mengabulkan permohonan orang-orang yang dalam keadaan terpaksa tatkala dia berdoa dan menghilangkan segala malapetaka". Kemudian saya mengambil kuda dan semua harta lalu pulang dalam keadaan selamat. [Tafsir Ibnu Katsir 3/370-371]


[Disalin dari buku Jahalatun nas fid du'a, edisi Indonesia Kesalahan Dalam berdoa oleh Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih, hal 174-180 terbitan Darul Haq, penerjemah Zaenal Abidin Lc]


LAYLA & MAJNUN

(kisah teladan dari negeri sufi)

Oleh: Khoirul Hafidz Fanani)

Seorang kepala suku Bani Umar di Arab telah dianugerahi seorang anak yang sangat dicintai, namanya Qais. Ia anak yang tampan, bermata besar, dan berambut hitam. Ia cerdas dan disukai oleh banyak orang, menjadi pusat perhatian dan kekaguman. Ia juga pintar dalam memainkan musik, menggubah syair dan melukis.

Ketika sudah mencapai umur sekolah, ayahnya membuat sekolah favorit yang di huni oleh murid-murid dari kalangan keluarga terpandang. Pengajarnya pun dari guru yang berkualitas. Di antara mereka, ada murid perempuan yang sangat cantik luar biasa dari keluarga kepala suku tetangga. Rambut dan matanya hitam, sehitam malam. Karena inilah, mereka menyebutnya Layla “malam”. Meski masih berusia dua belas tahun, banyak pria yang menaksir dan mau melamarnya.

Qais dan Layla adalah teman sekelas. Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah saling tertarik. Percikan ketertarikan itu akhirnya menjadi api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah bukan tempat belajar lagi, melainkan sebagai ajang bertemu. Ketika guru sedang mengajar, mereka saling berpandangan. Ketika tiba waktunya menulis, mereka justru saling menulis namanya di kertas. Bagi mereka dunia hanya milik berdua, Qais dan Layla saja.

Lama-kelamaan, hubungan cinta mereka mulai diketahui khalayak umum. Bisik-bisik, gunjingan-gunjingan pun mulai terdengar. Ketika ayah Layla juga mendengar berita tersebut, ia melarang Layla untuk tidak sekolah lagi. Karena baginya, tidak pantas anak gadis seusia Layla menjadi pusat sasaran cinta kaum pria. Qais pun akhirnya menjadi gelisah karena sudah tidak melihat Layla lagi di dalam kelas. Ia keluar dari sekolah dengan berjalan menelusuri sungai seraya melantunkan syair-syair yang berisi tentang Layla. Ia tidak mau bicara dengan orang kecuali bicara tentang Layla. Ia tidak mau menjawab pertanyaan orang, kalau tidak bertanya tentang Layla. Orang pun tertawa dan berkata, “Lihatlah ia, ia seorang Majnun, “gila”. Akhirnya ia dikenal dengan nama ini.

Melihat orang-orang melihat dirinya, menggunjing dirinya, Majnun kemudian mencari tempat di sebuah bukit untuk dibuat tempat tinggal. Ia sadar, Layla telah dipingit oleh orang tuanya, dan sulit bertemu dengannya. Ia kemudian mencari tempat yang bersebelahan dengan desa Layla, dan membangun gubuk yang menghadap ke desa kekasihnya itu. Sepanjang hari ia duduk-duduk di depan gubuknya, sambil bernyanyi tentang Layla, daun-daun dan bunga diambil kemudian di letakkan di atas sungai yang mengalir ke arah desa Layla untuk dititipi salam. Burung-burung di sapa dan diminta terbang menuju ke desa kekasihnya untuk menyampaikan salam rindunya. Angin Barat yang datang dari arah desa Layla dihirupnya. Pokoknya semua yang datang dari desa kekasihnya itu dikasihi dan disayangi.

Waktu terus berjalan, bulan demi bulan, Majnun tidak menemukan jejak kekasihnya lagi, sementara kerinduannya semakin menjadi-jadi, sampai akhirnya ia kelihatan menderita, badannya lusuh, tubuhnya kurus, dan pakaiannyapun compang-camping tak terurus. Tapi bagi Majnun, dirinya masih terasa kuat dan sehat, karena setiap hari masih bisa memanggil-manggil nama Layla.

Sahabat-sahabat sekolahnya dulu, telah mengunjunginya, tapi ia tidak mau bicara kecuali tentang Layla saja. Penderitaan Majnun ini, akhirnya menjadi perhatian ayahnya. Ayahnya kemudian memutuskan untuk melamar Layla atas anaknya. Ia menyiapkan kafilah dan hadiah yang penuh dengan barang berharga, kemudian dikirimkan ke desa Layla. Ketika masuk ke desa Layla, sang tamu disambut gembira oleh keluarga Layla. Mereka sama-sama cerita tentang keluarga dan anaknya masing-masing dengan suasana ceria. Ketika ayah Majnun mulai bicara tentang keinginannya melamarkan Layla untuk anaknya, ayah Layla menjawab, “Bukannya akau menolak Qais. Aku percaya kepadamu, sebab engkau pastilah orang yang terpandang dan terhormat. Akan tetapi engkau tidak bisa menyalahkanku, kalau aku berhati-hati terhadap anakmu. Semua orang tahu perilaku abnormalnya. Ia berpakaian seperti pengemis, ia pasti sudah lama tidak mandi. Ia hidup bersama hewan-hewan dan menjahui orang banyak. Tolong katakan kawan, jika engkau punya anak perempuan dan engkau berada dalam posisiku, akankah engkau memberikan anak perempuanmu kepada anakku?”. Ayah Qais tidak bisa berbuat apa-apa, karena menyadari anaknya memang demikian. Padahal dulu anaknya adalah teladan bagi teman sebayanya. Ia terkenal cerdas di kalangan wilayah jazirah Arab.

Ayahnya terus berpikir, bagaimana caranya supaya Majnun sembuh dari penyakit gila-nya. Akhirnya kemudian, ayahnya mengadakan acara pesta besar dengan makanan yang lezat-lezat. Gadis-gadis cantik dari negeri tetangga didatangkan dibuat untuk menghibur anaknya. Saat pesta dimulai, Majnun duduk sendirian sambil termenung, memperhatikan gadis-gadis yang lalu-lalang di depannya. Ia memperhatikan dengan seksama dan mencari barangkali ada yang mirip dengan Layla. Ada yang mirip pakaiannya, ada yang mirip rambutnya saja, dan senyumannya saja. Tetapi semuanya tidak dapat menghiburrnya, malah justru menyiksa batinnya. Hatinya terasa tersayat-tersayat ketika melihat orang-orang yang berada di sekelilingnya. Ia kesal dan marah kepada semuanya, karena ia anggap mereka, termasuk ayahnya, telah mengelabuhinya. Ia kemudian menangis dan menjerit keras sampai akhirnya jatuh pingsan tak sadarkan diri.

Sesudah petaka ini, sang ayah kemudian mengajak Majnun ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Dengan harapan Allah telah merahmatinya, dan membebaskan dari penyakit gila-nya kepada Layla. Di sana, Majnun bersimpuh di hadapan Ka’bah lalu berdoa, “Wahai Yang Maha Pengasih, Raja Diraja, Engkau Dzat yang menganugerahkan cinta, maka tinggikanlah cintaku dan kekasihku”. Kemudian ayahnya mendengar, dan akhirnya ia pasrah dan merasa tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk anaknya.

Usai menunaikan haji, Majnun tidak mau lagi bergaul dengan masyarakat. Ia menjauh, mencari tempat yang sepi dari pandangan orang lain. Ia tidak kembali ke gubuk deritanya lagi. Tetapi kemudian, ia menemukan reruntuhan bangunan untuk ditempatinya.

Berita tentang Majnun sudah tidak terdengar lagi oleh masyarakat. Mereka sudah tidak tahu lagi di mana Majnun berada. Sampai akhirnya, orang tuanya mengirim utusan untuk mencari keberadaannya. Utusan tersebut kembali dengan tangan hampa, tidak menemukan jejak Majnun. Mereka mengira, Majnun telah mati dimakan oleh binatang buas gunung sahara.

Suatu hari, seorang musafir melewati reruntuhan bangunan di mana Majnun tinggal. Musafir itu kemudian melihat sosok aneh duduk di sebuah tembok yang hancur. Tubuhnya kurus, rambutnya panjang hingga ke bahu, jenggotnya panjang dan acak-acakan, serta bajunya compang-camping dan kumal. Ketika sang musafir mengucapkan salam, tapi tidak mendapatkan jawaban, ia mendekatinya dan melihat ada seekor srigala yang tidur di kakinya. “Hus”, kata sang musafir. Baru sosok aneh tersebut berbicara, “jangan bangunkan sahabatku”, kemudian ia memandang ke arah kejauhan. Musafir pun duduk di situ dengan tenang. Ia menunggu dan penuh penasaran apa yang akan terjadi. Akhirnya orang aneh itu berbicara, barulah tahu bahwa dia adalah Majnun yang terkenal di seantero jagad Arab.

Nampaknya Majnun memang sudah bersahabat dengan binatang-bintang yang ada di situ. Berbagai macam binatang tidak ada yang mengganggunya, karena Majnun juga tidak pernah menyakitinya, bahkan menyayanginya. Sang musafir kemudian mendengarkan Majnun yang telah melantunkan dan menggubah syair-syair cintanya kepada Layla. Akhirnya sang musafir pergi dan meninggalkan Majnun untuk melanjutkan perjalanannya.

Ketika musafir sampai di desa Majnun, ia menuturkan kisahnya pada orang-orang, yang akhirnya sampai terdengar oleh ayah Majnun. Begitu mendengar, ayah Majnun memanggil musafir untuk diminta keterangan perihal anaknya. Merasa gembira dan bahagia, karena Majnun masih hidup, ayahnya pergi ke gurun sahara untuk menemui dan menjemputnya. Ketika melihat reruntuhan bangunan seperti yang digambarkan musafir itu, ayah Majnun sangat marah, karena merasa anaknya telah terjembab ke dalam jurang kehinaan. “Ya Tuhan, aku mohon agar Engkau menyelamatkan anakku dan mengembalikan kepada keluarga kami”, jerit kepala suku tersebut. Majnun mendengar doa ayahnya, dan segera keluar dari tempat persembunyiannya, lalu bersimpuh di kaki ayahnya. Majnun menangis, sambil berkata, “Wahai ayah, ampunilah aku atas segala kepedihan yang kutimbulkan ke padamu, lupakanlah bahwa engkau telah mempunyai anak, karena ini akan mengurangi beban ayah. Sebab ini adalah sudah nasibku ‘mencinta’, dan hidup untuk mencinta. Ayah dan anakpun kemudian saling berpelukan dan menangis tersedu-sedu. Inilah pertemuan terakhir mereka.

Sisi lain, keluarga Layla telah menyalahkan ayahnya lantaran salah dalam mendidik dan mengatasi problem ini. Dengan dipingitnya Layla dalam kamar, akhirnya Layla pun tidak mau keluar dari kamar, kecuali ke taman saja. Ia berdiam diri terus menerus di dalam kamar sambil merindukan kekasih tercintanya. Beberapa teman telah mengunjunginya, tetapi Layla tetap tidak mau ditemani oleh siapapun. Ia merasa betah di dalam kamar sendirian sambil memelihara api cinta yang membakar dalam kalbunya. Untuk mengungkapkan perasaannya yang mendalam, ia menulis dan menggubah syair kepada kekasihnya lalu ditulis di atas`potongan kertas-kertas kecil. Ketika diperbolehkan menyendiri di taman, ia menerbangkan kertas-kertas kecil ini melalui hembusan angin. Orang-orang yang menemukan kertas-kertas ini, kemudian membawanya kepada Majnun. Dengan demikian dua insan yang dimabuk cinta ini masih bisa menjalin hubungan.

Karena Majnun sangat terkenal di seluruh negeri, banyak orang mengunjunginya. Mereka mendengarkan syair-syair cintanya yang indah dan kidung pujian-pujiannya kepada Layla. Majnun memainkan serulingnya yang sangat memukau. Banyak yang merasa iba kepadanya, tapi sebagian ada yang sekedar ingin tahu tentang kisahnya. Merekapun dapat merasakan kedalaman cinta dan kasih sayangnya kepada semua makhluk. Tapi mereka tidak bisa lama-lama di situ, karena tahu Majnun tidak betah lama-lama dikunjungi orang banyak.

Salah satu dari pengunjung itu, ada seorang kesatria gagah berani bernama Amr. Ia pernah berjumpa Majnun ketika perjalanannya ke Mekkah. Meskipun ia sudah mendengar kisah cinta yang sangat terkenal itu di kotanya sendiri, ia ingin melihat dan mendengar dari mulut Majnun sendiri. Drama kisah tragis itu membuatnya pilu dan sedih, sehingga ia bersumpah dan bertekad untuk melakukan apa saja demi mempersatukan dua kekasih itu, meskipun harus banyak rintangan yang dihadapi.

Kembali ke kota kelahirannya, Amr kemudian menghimpun pasukan untuk menghancurkan suku yang ada di desa Layla. Akhirnya pertempuranpun terjadi. Banyak korban berjatuhan yang meninggal maupun terluka akibat serangan pasukan yang dipimpin Amr. Ketika pasukan Amr hampir memenangkan pertempuran, Ayah Layla mengirim pesan kepada Amr, “Jika engkau atau salah satu dari prajuritmu menginginkan putriku, maka akan aku serahkan, bahkan mau membunuh putriku, aku akan menyerahkannya, Tapi ada satu hal yang tidak akan aku lakukan, yakni menyerahkan putriku kepada orang ‘gila’ itu”.

Di medan pertempuran, Majnun berjalan lalu-lalang dengan bebas di tengah-tengah orang berperang. Ia menghampiri orang-orang terluka dari suku Layla, ia tolong mereka, dan ia rawat dengan penuh perhatian. Amr kemudian bertanya kepada Majnun kenapa sampai melakukan hal itu, ia jawab, “Orang-orang ini berasal dari desa kekasihku, bagaimana mungkin aku membenci dan memusuhinya?”. Amr jadi tidak mengerti dan bingung perihal yang dilakukan Majnun. Apa yang dikatakan ayah Layla tentang orang ‘gila’ ini membuatnya sadar. Akhirnya ia meminta pasukannya untuk mundur dari medan perang dan pergi meninggalkan desa itu tanpa mengucapkan apa-apa.

Sementara Layla tetap merana dalam penjara kamarnya sendiri. Kadang ia berjalan-jalan di taman sambil bernyanyi lagu-lagu cintanya. Suatu hari ada seorang bangsawan kaya raya, Ibnu Salam namanya, melihat sosok Layla yang sangat cantik jelita, ia tertarik dan segera menjumpai ayah Layla untuk melamarnya. Diterimalah lamaran itu oleh ayah Layla. Tentu saja Layla menolak keras, ia mengatakan kepada ayahnya,”Aku lebih senang mati dari pada kawin dengan orang itu”. Ia lari kepada ibunya, tapi sama saja tetap tidak digubris.

Perkawinanpun berlangsung dalam waktu singkat. Orang tua Layla merasa lega karena seluruh cobaan yang menimpa anakknya telah berakhir. Akan tetapi Layla menegaskan kepada suaminya,”Aku tidak pernah menjadi seorang istri, karena itu jangan membuang waktu, segeralah cari istri lain yang dapat membuat kamu bahagia”. Ibn Salam tidak memperdulikan ucapan Layla, ia pikir suatu ketika dia pasti jatuh ke dalam pelukannya.

Majnun mendengar berita perkawinan Layla, ia menangis dan meratap selama beberapa hari. Ia melantunkan lagu-lagu yang demikian menyayat hati dan mengharu-biru kalbu, sehingga semua orang yang mendengarpun ikut menangis. Derita dan kepedihannya begitu berat sampai binatang-binatang yang ada di sekelilingnya ikut bersedih. Tapi tak lama kemudian Majnun sadar bahwa ia harus mengucapkan selamat kepada Layla. Ia kirim surat kepada kekasihnya itu,”Semoga kalian berdua dapat hidup bahagia, hanya satu pesanku, jangan engkau lupakan namaku, meski engkau milik orang lain. Jangan engkau lupakan, bahwa ada orang yang sangat mencintaimu, meski tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan memanggil-manggil namamu, Layla”.

Sebagai jawabannya, Layla mengirimkan sebuah anting-anting sebagai tanda pengabdiannya. Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan,”Dalam hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaatpun. Kupendam cintaku demikian lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan cintamu kepada seluruh dunia, sementara aku membakar di dalam, dan engkau membakar cintamu di sekitarmu. Kini aku harus menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwa menjadi milik orang lain. Katakan kepadaku ‘kasih’...mana di antara kita yang dimabuk cinta, engkau ataukah aku”.

Tahun demi tahun terus berlalu, orang tua Majnun meninggal dunia, tapi Majnun tetap tinggal di reruntuhan bangunan itu dan merasa lebih kesepian dibanding sebelumnya. Di siang hari, ia mengarungi gurun sahara bersama sahabat-sahabat binatangnya. Di malam hari, ia memainkan serulingnya dengan melantunkan syair-syair kepada binatang buas, yang kini menjadi satu-satunya pendengar setianya. Ia menulis syair-syair cinta untuk Layla dengan ranting di atas tanah. Selang berapa lama, ia terbiasa dengan kehidupan yang aneh ini, ia menemukan kedamaian dan ketenangan dalam hatinya, sehingga tak ada satupun yang dapat mengganggu dan mengusiknya.

Sementara Layla tetap setia pada cintanya. Ibn Salam, suaminya merasa tidak pernah bisa mendekatinya, kendatipun ia hidup bersamanya. Ia sudah tidak sanggup lagi mengambil kepercayaan hati istrinya. Hidupnya terasa hambar dan sia-sia. Mereka berdua ibarat orang asing yang tidak saling kenal. Tak sepatah katapun yang keluar dari bibir mereka kecuali kalau ditanya. Mereka tidak pernah bicara. Dan akhirnya Ibn Salam jatuh sakit, tidak kuasa bertahan, sebab hidupnya dirasa tidak menjanjikan lagi. Pada musim panas, Ibn Salam meninggal dunia. Kematian suaminya ini, telah mengaduk-aduk perasaan Layla. Orang-orang mengira, ia sedih karena ditinggal suaminya, padahal sesungguhnya ia telah menangisi kekasihnya yang hilang, yang telah lama dirindukannya. Ia menangis keras dan lama sekali.

Setelah itu, Layla kembali ke rumah orang tuanya. Meski usianya masih muda, Layla tampak tua, dan kusut. Tapi ia kelihatan dewasa dibanding wanita seusianya.. Tak lama kemudian, kesehatannya telah digerogoti oleh perasaan api cintanya yang mendalam. Ia jatuh sakit, tidak mau makan dan tidur dengan baik selama beberapa malam. Ia tidak pernah memikirkan kesehatannya lagi. Bagaimana tidak, kalau yang dipikirkannya hanyalah Majnun semata. Sakitnya bertambah parah, dan ketika nyawa mau merenggutnya, ia masih memikirkan Majnun, ia hanya membuka matanya untuk memandang pintu kalau-kalau kekasihnya datang. Namun ia sadar, waktunya sudah habis, dan ia akan pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan kepada kekasih tercintanya. Pada suatu malam musim dingin, Layla menghembuskan nafasnya yang terakhir, matanya menatap pintu, ia meninggal dunia sambil bergumam, “Majnun”.

Kabar kematian Layla menyebar ke seluruh penjuru negeri. Tak terkecuali, Majnun, juga mendengar berita itu. Ia jatuh pingsan di tengah gurun sahara selama beberapa hari. Ketika sudah siuman, ia pergi menuju desa Lyala dengan kondisi tidak bisa berjalan lagi. Ia menyeret tubuhnya di atas tanah hingga sampai di desa Layla. Ia bergerak terus tanpa henti sampai akhirnya ia menemukan kuburan Layla. Ia berkabung di kuburan kekasihnya sampai beberapa hari. Ia letakkan kepalanya di atas kuburan Layla dengan diiringi kepedihan hati yang sangat mendalam. Akhirnya..., Majnun kekasih setia Layla itu meninggal dunia dengan posisi memeluk kuburan Layla. Ia meninggal dunia untuk selamanya.

Jasad Majnun tetap berada di atas kuburan Layla selama hampir satu tahun. Ketika peringatan satu tahun kematian Layla, kuburannya diziarahi oleh beberapa orang, termasuk teman sekolahnya dulu. Mereka menemukan sosok terbujur kaku di atas kuburan Layla. Sebagian dari mereka mengenalinya, bahwa itu adalah jasadnya Majnun. Akhirnya ia pun di kubur di sebelah kuburan Layla. Tubuh dua kekasih itu, kini telah kembali bertemu, dan bersatu dalam keabadian.

Konon, tak lama sesudah itu, ada seorang ahli ibadah (sufi) bermimpi melihat Majnun hadir di hadapan Tuhan. Tuhan membelai Majnun dengan penuh kasih sayang dan mendudukkannya di sisi-Nya. Lalu Tuhan berkata kepada Majnun, “Tidakkah engkau malu memangil-manggil-Ku dengan nama Layla, setelah engkau meminum anggur Cinta-Ku?”. Sang sufi pun bangun dalam keadaan gelisah. Jika Majnun diperlakukan sangat baik penuh kasih sayang oleh Tuhan, lalu bagaimana dengan Layla yang malang itu?. Begitu pikiran itu terlintas dalam benaknya, Tuhan mengirimkan ilham jawaban kepadanya, “Kedudukan Layla lebih tinggi, sebab ia menyembunyikan dan merahasiakan Cinta dalam dirinya”.[hafana]

Sunday, 5 June 2011

Aswaja Indentik dengan Imam Al-As'ary dan Maturidi

IDENTIKA ASWAJA

DENGAN IMAM ASY’ARI DAN MATURIDI

Al-Firqah al-Najiyah

Kajian seputar aliran-aliran dalam Islam, pada akhirnya menggiring pada kajian tentang al-firqah al-najiyah (golongan yang selamat), karena seperti dikatakan oleh Abu Ishaq al-Syathibi dalam al-I'tisham, bahasan tentang al-firqah al-najiyah merupakan inti dari kajian tentang aliran-aliran. Hal ini sesuai dengan hadits shahih berikut ini:

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ t أَنَّ رَسُولَ اللهِ J قَالَ: أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ، ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ. (رواه أبو داود (3981)، والدارمي (2/241) وأحمد (16329)، والحاكم (407) وصححه الحاكم، ووافقه الحافظ الذهبي.

"Dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan t, bahwa Rasulullah J bersabda: "Sesungguhnya orang sebelum kamu dari pengikut Ahlil-kitab terpecah belah menjadi 72 golongan. Dan umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 dua golongan akan masuk ke neraka, dan satu golongan yang akan masuk surga, yaitu golongan al-jama'ah".[1]

Hadits di atas, dan hadits-hadits lain yang serupa mengantarkan kita pada kesimpulan, bahwa ketika umat Islam terpecah belah menjadi puluhan atau bahkan ratusan golongan, seperti yang kita lihat dewasa ini, maka tidak semua golongan itu akan selamat. Hanya satu golongan yang akan selamat dan masuk surga. Sementara golongan yang lain tidak akan selamat dan akan masuk neraka. Kemudian hadits tersebut menjelaskan, bahwa satu golongan yang selamat adalah al-jama'ah. Dari sini berkembang sebuah pertanyaan, siapakah yang dimaksud dengan al-jama'ah, yang akan selamat, diantara 73 golongan dalam teks hadits di atas? Apakah madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi yang kita ikuti termasuk golongan al-jama'ah? Dan adakah dalil-dalil yang membuktikan madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi adalah golongan al-jama'ah?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada dua hal yang harus kita pahami di sini. Pertama, harus kita pahami bahwa masuknya seseorang ke dalam golongan yang diyakini selamat, tidak menjadi jaminan bahwa dia akan selamat. Demikian pula, keluarnya seseorang dari golongan yang selamat, tidak menjadi kepastian bahwa ia tidak akan selamat, karena dalam golongan yang selamat sendiri, terdapat sekian banyak ajaran dan kewajiban yang harus ditaati oleh pengikutnya.

Kedua, para ulama dari berbagai golongan dan aliran telah berupaya memberikan jawaban terhadap pertanyaan di atas. Tentu saja jawaban mereka berbeda-beda sesuai dengan golongan masing-masing. Para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah, mengklaim bahwa golongan mereka yang selamat. Ulama Syi'ah, mengklaim bahwa golongan Syi'ah-lah golongan yang selamat. Ulama Khawarij, Mu'tazilah, Wahhabi dan lain-lain juga mengklaim bahwa golongan merekalah golongan yang selamat, sementara golongan yang lain tidak akan selamat. Dan sudah barang tentu, seperti dikatakan oleh Abu Ishaq al-Syathibi dalam al-I'tisham, tiap-tiap golongan membenarkan klaim dirinya sebagai satu-satunya golongan yang selamat dengan dalil-dalil dari al-Qur'an dan sunnah yang mereka asumsikan membuktikan kebenaran golongan mereka. Oleh karena itu, menentukan mana kelompok yang selamat pada zaman sekarang [masa hidup al-Syathibi] secara obyektif, adalah sulit. Namun demikian, kita tetap harus memberikan jawaban terhadap pertanyaan di atas, karena jawaban tersebut adalah pokok bahasan dalam kajian tentang aliran-aliran dalam Islam.[2] Demikian pernyataan Abu Ishaq al-Syathibi dengan disederhanakan.

Dalam menjawab pertanyaan di atas, golongan manakah yang dimaksud dengan al-firqah al-najiyah dalam hadits-hadits Nabi J, para ulama kita, baik dari kalangan ahli hadits, maupun kalangan fuqaha, telah berupaya memberikan jawaban dengan tuntas, berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur'an dan sunnah, tentang golongan yang selamat. Diantara kalangan ahli hadits ialah al-Hafizh Hibatullah al-Lalika'i dalam Syarh Ushul I'tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, al-Hafizh Abu Bakar al-Ajurri dalam al-Syari'ah, al-Hafizh al-Baihaqi dalam kitab-kitabnya dan lain-lain. Sementara dari kalangan fuqaha, diantaranya al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq baina al-Firaq wa Bayan al-Firqah al-Najiyah (perbedaan antara berbagai aliran dan paparan tentang aliran yang selamat), al-Imam Abu al-Muzhaffar al-Asfarayini dalam al-Tabshir fi al-Din wa Tamyiz al-Firqah al-Najiyah 'an al-Firaq al-Halikin (pendalaman tentang agama dan perbedaan aliran yang selamat dengan aliran-aliran yang celaka), al-Imam Abu Ishaq al-Syathibi dalam al-I'tisham dan lain-lain.[3]

Bagian berikut ini akan mencoba menyajikan rangkuman dari pemaparan para ulama di atas, dan kaitannya dengan madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi, serta aliran-aliran yang berkembang dalam Islam hingga dewasa ini.

Ahlussunnah Wal-Jama'ah dan al-Firqah al-Najiyah

Sebelumnya di sini perlu ditegaskan, bahwa tidak ada nash yang sharih, dalam al-Qur'an dan hadits Nabi J yang shahih yang secara tegas menjelaskan bahwa golongan yang selamat adalah golongan yang menamakan dirinya Ahlussunnah Wal-Jama'ah atau golongan salafi, atsari dan lain sebagainya. Hanya saja menurut pernyataan mayoritas ulama, sejak generasi salaf yang saleh, disebutkan bahwa Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah kelompok yang mengikuti ajaran Islam yang murni seperti yang diajarkan oleh Nabi J dan sahabatnya, sehingga pada gilirannya, golongan Ahlussunnah Wal-Jama'ah ini yang diakui sebagai golongan yang selamat (al-firqah al-najiyah).

Dalam perjalanan sejarah, tidak semua aliran dalam Islam yang mengklaim dirinya mengikuti Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Kelompok Syi'ah, Khawarij, Mu'tazilah, Zaidiyah dan Ibadhiyah –misalnya-, tidak mau dikatakan sebagai pengikut Ahlussunnah Wal-Jama'ah.[4] Dalam sejarah aliran-aliran, hanya ada dua aliran yang mengklaim dirinya mengikuti dan mewakili madzhab Ahlussunnah Wal-Jama'ah, yaitu aliran yang mengikuti madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi, dan aliran yang mengikuti ajaran Ibn Taimiyah al-Harrani. Kedua aliran inilah yang mengklaim dirinya mengikuti dan mewakili Ahlussunnah Wal-Jama'ah, sementara kelompok yang lain divonisnya, sebagai kelompok Ahli bid'ah. Meskipun dalam perjalanan sejarah, konflik pemikiran dan ideologis yang terjadi antara aliran yang mengikuti madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi di satu pihak, dan aliran yang mengikuti Ibn Taimiyah al-Harrani di pihak lain, selalu dimenangkan aliran yang pertama, yaitu aliran yang mengikuti madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi. Dari sini berkembang sebuah pertanyaan, adakah dalil-dalil agama dalam al-Qur'an dan sunnah yang mengisyaratkan bahwa madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi, atau madzhab Ibn Taimiyah, adalah Ahlussunnah Wal-Jama'ah atau al-firqah al-najiyah?

Bagian berikut ini akan mencoba mengetengahkan beberapa dalil dalam al-Qur'an dan sunnah yang mengisyaratkan kebenaran madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi sebagai kelompok yang layak mewakili Ahlussunnah Wal-Jama'ah.

Sifat-Sifat al-Firqah al-Najiyah

Sebelumnya di sini harus kita pahami, bahwa tidak ada nash yang tegas dan sharih, baik dalam al-Qur'an maupun dalam hadits shahih, yang menegaskan bahwa golongan A atau B, yang secara tertentu adalah golongan yang selamat, sementara golongan yang lain tidak akan selamat. Oleh karena itu, penentuan golongan yang selamat, seperti dikatakan oleh al-Syathibi, masih sebatas ijtihad para ulama. Namun demikian, meskipun tidak ada nash yang tegas tentang golongan yang selamat secara pasti, dalil-dalil al-Qur'an dan sunnah telah menyebutkan sifat-sifat yang menjadi ciri khas golongan yang selamat tersebut. Kajian berikut ini akan mencoba memaparkan sifat-sifat al-firqah al-najiyah yang terdapat dalam al-Qur'an dan sunnah serta relevansinya dengan aliran-aliran yang berkembang dalam Islam hingga dewasa ini.

Kajian para ulama tentang al-firqah al-najiyah sebagian besar merujuk terhadap hadits-hadits seputar iftiraq al-ummah (perpecahan umat). Sebagian riwayat hadits-hadits perpecahan umat, memberikan penjelasan, bahwa ada dua kriteria yang menjadi barometer bahwa suatu golongan itu dikatakan sebagai al-firqah al-najiyah. Pertama, mengikuti al-jama'ah. Dan kedua, mengikuti ajaran Nabi J dan ajaran sahabatnya (ma ana 'alayhi al-yauma wa ashhabi).[5] Bahasan berikut ini akan mencoba memaparkan sifat-sifat golongan yang selamat, dengan berangkat dari dua kriteria tersebut serta dalil-dalil lain dalam al-Qur'an dan sunnah yang dijelaskan oleh para ulama.

1. Mengikuti Ajaran al-Jama'ah

Dalam sebagian hadits-hadits perpecahan umat, dijelaskan bahwa golongan yang selamat ketika umat Islam terpecah belah menjadi 73 golongan adalah golongan al-jama'ah. Hal ini sesuai dengan hadits berikut:

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ t أَنَّ رَسُولَ اللهِ J قَالَ: أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ، ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ. (سبق تخريجه قريبا).

"Dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan t, bahwa Rasulullah J bersabda: "Sesungguhnya orang sebelum kamu dari pengikut Ahlil-kitab terpecah belah menjadi 72 golongan. Dan umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 golongan akan masuk ke neraka, dan satu golongan yang akan masuk surga, yaitu golongan al-jama'ah".

Dalam hadits lain, Rasulullah J juga bersabda:

وَعَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ t قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J: عَلَيْكُمْ بْالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ اْلاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ، وَمَنْ أَرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَة. (رواه الترمذي (2091)، والنسائي في الكبرى (9219)، وأحمد (172) وقال الترمذي: هذا حديث حسن صحيح، وصححه الحاكم : (356).

"Dari Umar bin al-Khaththab t, berkata: "Rasulullah J bersabda: "Ikutilah kelompok yang banyak dan jauhi perpecahan. Karena syetan bersama orang yang sendirian. Syetan akan lebih jauh dari orang yang berduaan. Barangsiapa yang menginginkan tempat yang lapang di surga, maka ikutilah al-jama'ah."

Dua hadits di atas memberikan penjelasan, bahwa golongan yang selamat ketika kaum Muslimin terpecah belah menjadi 73 golongan adalah golongan al-jama'ah. Para ulama berbeda pendapat dalam memberikan penafsiran terhadap maksud al-jama'ah dalam hadits di atas. Namun perbedaan tersebut –seperti dipaparkan pada bagian sebelumnya-, tidaklah bersifat kontradiktif (tadhad), dimana pendapat yang satu menafikan pendapat yang lain. Akan tetapi, perbedaan tersebut hanya bersifat variatif (tanawwu'), dimana masing-masing pendapat menjelaskan varian berbeda yang masih menjadi bagian dari esensi makna al-jama'ah tersebut. Berikut ini akan dipaparkan maksud al-jama'ah dalam pandangan para ulama.

a. Disebut Aliran al-Jama'ah

Kata al-jama'ah dalam hadits-hadits di atas menunjuk pada arti golongan yang memang disebut dengan al-jama'ah. Itu terjadi pada golongan yang mengikuti madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi. Karena semua kaum Muslimin, baik yang awam maupun yang alim, dari berbagai aliran dan golongan, menamakan pengikut madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi dengan nama Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Dalam hal ini, al-Imam Abu al-Muzhaffar al-Asfarayini mengatakan:

وَمِنْهَا جَاءَ فِيْ رِوَايَةٍ أُخْرَى أَنَّهُ J سُئِلَ عَنِ الْفِرْقَةِ النَّاجِيَةِ فَقَالَ: الْجَمَاعَةُ، وَهَذِهِ صِفَةٌ مُخْتَصَّةٌ بِنَا، لأَنَّ جَمِيْعَ الْخَاصِّ وَالْعَامِّ مِنْ أَهْلِ الْفِرَقِ الْمُخْتَلِفَةِ يُسَمُّوْنَهُمْ أَهْلَ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، وَكَيْفَ يَتَنَاوَلُ هَذَا اْلاِسْمُ الْخَوَارِجَ وَهُمْ لاَ يَرَوْنَ الْجَمَاعَةَ، وَالرَّوَافِضَ وَهُمْ لاَ يَرَوْنَ الْجَمَاعَةَ، وَالْمُعْتَزِلَةَ وَهُمْ لاَ يَرَوْنَ صِحَّةَ اْلإِجْمَاعِ، وَكَيْفَ تَلِيْقُ بِهِمْ هَذِهِ الصِّفَةُ الَّتِيْ ذَكَرَهَا الرَّسُوْلُ J اهـ. (الإمام أبو المظفر الاسفراييني، التبصير في الدين، ص/185-186).

"Diantara ciri khas Ahlussunnah Wal-Jama'ah, adalah diterangkan dalam riwayat lain, bahwa Nabi J pernah ditanya tentang kelompok yang selamat, lalu beliau menjawab: "Kelompok yang selamat adalah al-jama'ah". Ini adalah ciri khas yang tertentu pada kami (madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi), karena semua orang yang alim dan yang awam dari berbagai golongan, menamakan mereka dengan nama Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Nama al-jama'ah tersebut tidak mencakup golongan Khawarij, karena mereka tidak berpandangan perlunya menjaga al-jama'ah. Tidak mencakup golongan Rawafidh (Syi'ah), karena mereka juga tidak berpandangan perlunya menjaga al-jama'ah. Dan tidak pula mencakup golongan Mu'tazilah, karena mereka tidak mengakui kebenaran ijma' sebagai dalil. Sifat yang disebutkan oleh Rasul J ini tidak layak bagi mereka."[6]

b. Mengikuti Ijma' Ulama

Kata al-jama'ah tersebut juga menunjuk pada golongan yang menjadikan ijma' ulama sebagai hujjah dan dalil dalam beragama. Hal ini didasarkan pada dalil al-Qur'an dan hadits yang mewajibkan kaum Muslimin mengikuti ijma' ulama. Dalam al-Qur'an, Allah SWT berfirman:

`tBur È,Ï%$t±ç tAqß§9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB tû¨üt6s? ã&s! 3yßgø9$# ôìÎ6­Ftƒur uŽöxî È@Î6y tûüÏZÏB÷sßJø9$# ¾Ï&Îk!uqçR $tB 4¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur zN¨Yygy_ ( ôNuä!$yur #·ŽÅÁtB ÇÊÊÎÈ

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu[348] dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. al-Nisa' : 115).

Dalam hadits shahih, Rasulullah J juga bersabda:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J: إِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلاَلَةٍ، وَيَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ، وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلىَ النَّارِ. رواه الترمذي، وغيره. والحديث صحيح بطرقه وشواهده.

"Ibn Umar berkata, Rasulullah J bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku, atas kesesatan. Pertolongan Allah selalu bersama jama'ah. Dan barangsiapa yang menyimpang dari jama'ah, maka ia akan terjun ke neraka."[7]

Sifat mengikuti ijma' ulama tersebut, cocok dengan madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi, karena dalam menetapkan hukum-hukum agama, para ulama yang mengikuti madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi selalu menggunakan dalil al-Qur'an, Sunnah, ijma' dan qiyas secara sempurna. Sedangkan aliran-aliran yang lain, pasti menolak sebagian dari dalil-dalil tersebut. Oleh karena itu, madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi yang layak disebut Ahlussunnah Wal-Jama'ah atau al-firqah al-najiyah.[8]

Berkaitan dengan ijma' ulama, aliran-aliran yang mengikuti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, [Ibn Baz, al-Albani, Abu Bakar Jabir al-Jazairi, al-'Utsaimin, al-Fauzan, Muqbil al-Wadi'i, Rabi' al-Madkhali dan tokoh-tokoh Wahhabi yang lain] tidak dapat dikatakan mengikuti Ahlussunnah Wal-Jama'ah atau al-firqah al-najiyah,[9] karena pendapat-pendapat mereka banyak yang keluar dari al-Qur'an, sunnah dan ijma' para ulama. Berikut ini penjelasan sebagian pendapat tokoh-tokoh tersebut.

1) Ibn Taimiyah al-Harrani, yang merupakan cikal-bakal lahirnya gerakan Wahhabi, memiliki banyak pandangan yang keluar dari ijma' ulama. Menurut al-Imam al-Hafizh Waliyyuddin al-'Iraqi, Ibn Taimiyah memiliki 60 pendapat yang menyalahi ijma' ulama, baik dalam hal akidah maupun dalam hukum fiqih. Dalam hal akidah ada dua pendapat Ibn Taimiyah yang sangat tragis dan keluar dari ijma' ulama. Pertama, dia berpendapat bahwa wujudnya alam itu tidak ada permulaannya. Hal ini ia sebutkan dalam tujuh kitabnya.[10] Padahal menurut ijma' ulama, yang dikutip oleh al-Imam al-Nawawi dan al-Hafizh Ibn Hajar, orang yang berpendapat bahwa alam tidak ada permulaannya adalah kafir.[11] Kedua, dia berpendapat bahwa neraka itu tidak kekal. Pendapat ini diceritakan dan diikuti oleh muridnya, Ibn al-Qayyim.[12] Tentu saja pendapat tersebut bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-hadits shahih yang menegaskan bahwa neraka itu kekal. Diantaranya adalah firman Allah SWT:

¨bÎ) ©!$# z`yès9 tûï͍Ïÿ»s3ø9$# £tãr&ur öNçlm; #·ŽÏèy ÇÏÍÈ tûïÏ$Î#»yz !$pkŽÏù #Yt/r& ( žw tbrßÅgs $wŠÏ9ur Ÿwur #ZŽÅÁtR ÇÏÎÈ

"Sesungguhnya Allah mela'nati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka). Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak (pula) seorang penolong." (QS. al-Ahzab : 64-65).

Dalam ayat yang lain Allah SWT juga berfirman:

ytãur ª!$# šúüÉ)Ïÿ»oYßJø9$# ÏM»s)Ïÿ»oYßJø9$#ur u$¤ÿä3ø9$#ur u$tR tL©èygy_ tûïÏ$Î#»yz $pkŽÏù 4 }Ïd óOßgç6ó¡ym 4 ÞOßguZyès9ur ª!$# ( óOßgs9ur Ò>#xtã ×LìÉ)B ÇÏÑÈ

"Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah mela'nati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal." (QS. al-Taubah : 68).

Dalam hal furu' (hukum fiqih), Ibn Taimiyah juga memiliki banyak pendapat yang keluar dari ijma' ulama, seperti keharaman ber-tawassul dengan nabi dan orang shaleh, keharaman ber-tabarruk dengan mereka serta peninggalan mereka, pendapat bahwa bepergian untuk berziarah ke makam Nabi J termasuk maksiat yang tidak membolehkan melakukan qashar shalat, talak tiga yang diucapkan satu kali menjadi satu, dan lain sebagainya.

2) Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, pendiri ajaran Wahhabi, selain mengadopsi bid'ah-bid'ah yang digagas oleh Ibn Taimiyah al-Harrani, juga menambahnya dengan pendapat-pendapat baru yang juga keluar dari ijma' ulama. Diantara pendapatnya yang keluar dari ijma' ulama adalah, mengkafirkan seluruh kaum Muslimin pada masanya karena tidak mengikuti ajarannya, mengkafirkan orang yang melakukan istighatsah dengan nabi atau wali yang sudah meninggal, berpendapat bahwa orang yang berziarah ke makam nabi dan orang shaleh dengan tujuan tabarruk adalah syirik besar, mengharamkan bacaan shalawat dengan keras setelah adzan, mengharamkan perayaan maulid Nabi J, seluruh kaum Muslimin telah syirik sejak tahun 600 Hijriah, mengharamkan membaca Dalail al-Khairat dan lain sebagainya.[13]

3) Muhammad Abduh yang mendeklarasikan gerakan kembali pada ajaran 'salaf' -sehingga sejak saat itu nama aliran 'salafi' menjadi tren di kalangan Wahhabi-, selain mengadopsi sebagian bid'ah-bid'ah Ibn Taimiyah dan aliran Wahhabi, juga memiliki banyak pandangan yang keluar dari al-Qur'an, sunnah dan ijma' ulama. Diantara pendapat Abduh yang keluar dari al-Qur'an, sunnah dan ijma' ulama adalah, fatwanya yang berupa boleh mengambil bunga ribawi dengan prosentase tertentu, boleh memakan daging hewan yang disembelih oleh orang-orang Kristen dengan cara apapun mereka menyembelihnya, boleh membuat dan memelihara patung dan lain sebagainya.

Di sisi lain, dalam menafsirkan teks-teks al-Qur'an dan sunnah, Muhammad Abduh seringkali tidak mengikuti metodologi tafsir yang disepakati oleh ulama salaf dan khalaf. Dia seringkali mengikuti metodologi apa saja, sesuai dengan kepentingannya. Antara lain, Abduh menafsirkan malaikat yang diperbantukan Allah kepada kaum Muslimin dalam peperangan Badar dengan kekuatan mental dan taufiq dari Tuhan, bukan malaikat yang mempunyai raga, ruh dan kekuatan. Padahal berdasarkan sekian banyak riwayat yang ada, malaikat yang diperbantukan Allah dalam peperangan Badar, hadir dalam wujud raga yang mempunyai ruh dengan bentuk manusia. Abduh juga menafsirkan burung Ababil yang membinasakan Abrahah dan bala tentaranya dalam surat al-Fil dengan virus cacar. Dia juga melakukan takwil terhadap sejumlah besar khawariq (kejadian yang tidak alami) dan mukjizat Nabi J.[14]

4) Muhammad Rasyid Ridha, penulis Tafsir al-Manar dan pemilik Majalah al-Manar, adalah murid Muhammad Abduh yang mengadopsi bid'ah-bid'ah Ibn Taimiyah dan aliran Wahhabi. Dia juga memiliki banyak pandangan yang menyimpang dari al-Qur'an, sunnah dan ijma' ulama, antara lain adalah beberapa penafsirannya yang terdapat dalam Tafsir al-Manar, seperti malaikat dalam al-Qur'an yang ditafsirkan dengan kekuatan alam, jin dalam al-Qur'an yang ditafsirkan dengan virus penyakit dan pendapatnya bahwa al-Qur'an al-Karim dapat diterapkan terhadap teori evolusi Darwin bahwa manusia berasal dari kera.

Tentu saja penafsiran-penafsiran semacam ini keluar dari nash al-Qur'an, sunnah dan ijma' ulama. Penafsiran malaikat dengan kekuatan alam bertentangan dengan banyak ayat dan hadits shahih, seperti ayat al-Quran, "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. al-Baqarah : 30). Dalam ayat ini digambarkan, bagaimana malaikat itu bertanya kepada Allah tentang hikmah penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Sudah barang tentu pertanyaan semacam ini tidak ditanyakan oleh benda atau materi yang tidak mempunyai ruh (jiwa).

Sedangkan penafsiran jin dengan virus penyakit juga bertentangan dengan banyak ayat dan hadits shahih, seperti ayat, "Berkata 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; Sesungguhnya Aku benar-benar Kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya." (QS. al-Naml : 39), dan ayat, "Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang Tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih." (QS. Saba' : 13).

Sudah barang tentu, aktifitas dalam kedua ayat di atas, yang dilakukan oleh Jin, berupa memindah istana Bilqis dari Saba' ke Palestina, membangun gedung-gedung yang Tinggi dan patung-patung, membuat piring-piring yang besarnya seperti kolam dan periuk yang tetap berada di atas tungku, tidak dilakukan oleh virus penyakit, tetapi oleh makhluk Allah yang mempunyai ruh dan kekuatan.

Sedangkan pendapat Rasyid Ridha, bahwa teori evolusi Darwin dapat disesuaikan dengan ayat-ayat al-Qur'an, bertentangan dengan ayat, "Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, Kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), Maka jadilah Dia." (QS. Ali-Imran : 59). Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Nabi Adam diciptakan oleh Allah dari tanah, bukan melalui proses evolusi dari kera. Anehnya, pendapat Rasyid Ridha ini diikuti oleh Quraish Shihab, yang belakangan diketahui mengikuti aliran Syi'ah Imamiyah.

Rasyid Ridha juga berfatwa, tentang kehalalan makan daging babi apabila sudah direbus dengan air dalam kadar suhu panas tertentu yang diyakini virus yang dikandungnya telah mati. Dia juga pernah mendustakan hadits Rasulullah J yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim, bahwa Matahari bersujud kepada Allah di bawah 'Arasy. Mengomentari hadits shahih tersebut, Rasyid berkata, "Para nabi tidak mengetahui ilmu pengetahuan semacam ini." Tentu saja pernyataan Rasyid ini sebagai pendustaan terhadap Rasulullah J.[15]

Fatwa dan penafsiran yang dilakukan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di atas tidak dapat dibenarkan, karena bertentangan dengan teks-teks al-Qur'an, sunnah dan ijma' ulama. Penafsiran yang demikian itu termasuk penafsiran rasional yang tercela (bi al-ra'y al-madzmum). Berkaitan dengan hal ini, al-Imam Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri –pakar hadits dan fiqih kontemporer berkebangsaan India-, mengatakan:

التَّأْوِيْلُ تَأْوِيْلاَنِ، تَأْوِيْلٌ لاَ يُخَالِفُ قَاطِعًا مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَاتِّفَاقِ اْلأُمَّةِ، وَتَأْوِيْلٌ يُصَادِمُ مَا ثَبَتَ بِالْقَاطِعِ فَذَلِكَ الزَّنْدَقَةُ. (الامام محمد أنور شاه الكشميري، إكفار الملحدين ص/44).

"Ta'wil itu ada dua macam. Pertama, ta'wil yang tidak menyelisihi dalil yang pasti dalam al-Qur'an, sunnah dan ijma' ulama. Dan kedua, ta'wil yang berlawanan dengan dalil yang pasti, maka hal tersebut adalah kezindiqan [kekafiran]."[16]

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa aliran-aliran yang mengikuti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha dan tokoh-tokoh Wahhabi yang lain [seperti Ibn Baz, al-'Utsaimin, al-Fauzan, al-Albani, al-Jibrin, Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Sayyid Sabiq dan lain-lain],[17] bukan golongan Ahlussunnah Wal-Jama'ah atau al-firqah al-najiyah (golongan yang selamat), karena pendapat-pendapat mereka banyak yang keluar dari al-Qur'an, sunnah dan ijma' sebagaimana ditegaskan oleh Hadlratusysyaikh KH. Hasyim Asy'ari.[18]

c. Menjaga Kebersamaan

Kata al-jama'ah tersebut juga menunjuk pada arti golongan yang selalu menjaga kebersamaan, kerukunan dan keharmonisan. Itu bisa terjadi apabila masing-masing anggota dalam kelompok tersebut tidak saling mengkafirkan, membid'ahkan dan memfasikkan anggota yang lain, meskipun diantara mereka terjadi perbedaan pendapat. Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh al-Imam al-Baghdadi sebagai berikut:

اَلْفَصْلُ الْخَامِسُ فِيْ بَيَانِ عِصْمَةِ اللهِ أَهلَ السُّنَّة عَنْ تَكْفِيْرِ بَعْضِهِمْ بَعْضًا. أَهْلُ السُّنَّةِ لاَ يُكَفِّرُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا، وَلَيْسَ بَيْنَهُمْ خِلاَفٌ يُوْجِبُ التَّبَرِّيَ وَالتَكْفِيْرَ، فَهُمْ إِذَنْ أَهْلُ الْجَمَاعَةِ الْقَائِمُوْنَ بِالْحَقِّ، وَاللهُ تَعَالَى يَحْفَظُ الْحَقَّ وَأَهْلَهُ، فَلاَ يَقَعُوْنَ فِي تَنَابُذٍ وَتَنَاقُضٍ، وَلَيْسَ فَرِيْقٌ مِنْ فِرَقِ الْمُخَالِفِيْنَ إِلاَّ وَفِيْهِمْ تَكْفِيْرُ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ، وَتَبَرِّىْ بَعْضِهِمْ مِنْ بَعْضٍ كَالْخَوَارِجِ وَالرَّوَافِضِ وَالْقَدَرِيَّةِ، حَتَّى اجْتَمَعَ سَبْعَةٌ مِنْهُمْ فِيْ مَجْلِسٍ وَاحِدٍ فَافْتَرَقُوْا عَنْ تَكْفِيْرِ بَعْضِهِمْ بَعْضًا وَكَانُوْا بِمَنْزِلَةِ الْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى حِيْنَ كَفَّرَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا حَتَّى قَالَتِ ߊqßguŠø9$# ÏM|¡øŠs9 3t»|Á¨Z9$# 4n?tã &äóÓx« ÏMs9$s%ur 3t»|Á¨Y9$# ÏM|¡øŠs9 ߊqßguŠø9$# 4n?tã &äóÓx« ÇÊÊÌÈ اهـ.

"Bab lima, menerangkan penjagaan Allah terhadap Ahlussunnah [Wal-Jama'ah] dari saling mengkafirkan antara sesama mereka. Ahlussunnah [Wal-Jama'ah] tidak saling mengkafirkan antara sesama mereka. Diantara mereka tidak ada perselisihan pendapat yang membawa pada pemutusan hubungan dan pengkafiran. Oleh karena itu, mereka memang golongan al-jama'ah (selalu menjaga kebersamaan dan keharmonisan) yang melaksanakan kebenaran. Allah selalu menjaga kebenaran dan pengikutnya, sehingga mereka tidak terjerumus dalam ketidakharmonisan dan pertentangan. Dan tidak ada satu golongan diantara golongan-golongan luar Ahlussunnah Wal-Jama'ah, kecuali di kalangan mereka terjadi saling mengkafirkan dan memutus hubungan, seperti aliran Khawarij, Rawafidh (Syi'ah) dan Qadariyah (Mu'tazilah). Sehingga pernah suatu ketika, tujuh orang dari mereka berkumpul dalam satu majlis, lalu mereka berbeda pendapat dan berpisah dengan saling mengkafirkan antara yang satu dengan yang lain. Mereka tak ubahnya orang Yahudi dan Nasrani pada saat saling mengkafirkan. sehingga orang-orang Yahudi berkata: "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan", dan orang-orang Nasrani berkata: "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan."[19]

Sifat tersebut adalah sifat yang cocok dengan madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi. Di kalangan madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi, para ulama mereka selalu menjaga kebersamaan dan keharmonisan. Tidak saling mengkafirkan, membid'ahkan dan memfasikkan, meskipun perbedaan pendapat tidak jarang terjadi. Hal ini berbeda dengan realita aliran-aliran lain seperti Khawarij, Syi'ah, Mu'tazilah dan lain-lain, dimana perbedaan pendapat diantara mereka sampai pada batas saling membid'ahkan dan mengkafirkan. Dan inilah yang membedakan Ahlussunnah Wal-Jamama'ah dengan ahli bid'ah. Ahlussunnah Wal-Jama'ah identik dengan kebersamaan, sedangkan ahli bid'ah selalu identik dengan perpecahan.

Sikap saling mengkafirkan dan membid'ahkan dalam satu aliran dewasa ini menjadi tren di kalangan ulama Wahhabi. Setelah mereka selesai memvonis bid'ah dan syirik kaum Muslimin selain golongan mereka, kini mereka mengarahkan tuduhan bid'ah dan kafir terhadap sesama ulama Wahhabi-nya. Misalnya Abdul Muhsin al-'Abbad dari Madinah menganggap al-Albani berfaham Murji'ah. Sedangkan Hamud al-Tuwaijiri dari Riyadh menilai al-Albani telah mulhid (tersesat). Al-Albani juga memvonis tokoh Wahhabi Saudi yang mengkritiknya, sebagai musuh tauhid dan sunnah. Komisi fatwa Saudi Arabia yang beranggotakan al-Fauzan dan al-Ghudyan, serta ketuanya Abdul Aziz Alus-Syaikh memvonis Ali Hasan al-Halabi [murid al-Albani], tokoh Wahhabi yang tinggal di Yordania, berfaham Murji'ah dan Khawarij. Lalu Husain Alus-Syaikh yang tinggal di Madinah membela al-Halabi dan mengatakan bahwa yang membid'ahkan al-Halabi adalah ahli bid'ah dan bahwa al-Fauzan telah berbohong dalam fatwanya tentang al-Halabi. Al-Halabi pun membalas juga dengan mengatakan, bahwa Safar al-Hawali, pengikut Wahhabi Saudi, beraliran Murji'ah. Ahmad Yahya al-Najmi, Wahhabi Saudi, memvonis al-Huwaini dan al-Mighrawi yang tinggal di Mesir membawa faham Khawarij. Falih al-Harbi dan Fauzi al-Atsari dari Bahrain menuduh Rabi' al-Madkhali dan Wahhabi Saudi lainnya mengikuti faham Murji'ah. Dan Banyak pula ulama Wahhabi yang hampir mengeluarkan Bakar Abu Zaid yang tinggal di Riyadh dari barisan Wahhabi karena karangannya yang berjudul Tashnif al-Nas baina al-Zhann wa al-Yaqin. Tradisi membid'ahkan dan memvonis dengan faham bid'ah, Murji'ah dan Khawarij menjadi tren di kalangan ulama Wahhabi saat ini.[20] Realita perpecahan di kalangan Wahhabi yang tidak pernah berhenti tersebut, menjadi bukti yang sangat kuat bahwa mereka bukan Ahlussunnah Wal-Jama'ah atau al-Firqah al-Najiyah yang identik dengan kebersamaan, tetapi mereka adalah ahli bid'ah yang identik dengan perpecahan, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah sendiri, "Ajaran sunnah selalu identik dengan kebersamaan, sebagaimana ajaran bid'ah selalu identik dengan perpecahan."[21]

d. Golongan Mayoritas (al-Sawad al-A'zham)

Kata al-jama'ah menunjuk pada arti al-sawad al-a'zham (mayoritas kaum Muslimin), dengan artian bahwa Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah aliran yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Abdullah al-Harari berikut ini:

لِيُعْلَمْ أَنَّ أَهْلَ السُّنَّةِ هُمْ جُمْهُوْرُ اْلأُمَّةِ الْمُحَمَّدِيَّةِ وَهُمُ الصَّحَابَةُ وَمَنْ تَبِعَهُمْ فِي الْمُعْتَقَدِ اَيْ فِيْ اُصُوْلِ اْلاِعْتِقَادِ . . . وَالْجَمَاعَةُ هُمُ السَّوَادُ اْلاَعْظَمُ. (الشيخ عبد الله الهرري، إظهار العقيدة السنية ص/14-15).

"Hendaklah diketahui bahwa Ahlussunnah adalah mayoritas umat Muhammad J. Mereka adalah para sahabat dan golongan yang mengikuti mereka dalam prinsip-prinsip akidah. . . Sedangkan al-jama'ah adalah mayoritas terbesar (al-sawad al-a'zham) kaum Muslimin."[22]

Pendapat bahwa al-jama'ah adalah al-sawad al-a'zham (mayoritas kaum Muslimin) sesuai dengan hadits berikut ini:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ t يَقُولُ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ J يَقُولُ: إِنَّ أُمَّتِيْ لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ اِخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ. رواه ابن ماجه (3950)، وعبد بن حميد في مسنده (1220)، والطبراني في مسند الشاميين (2069)، واللالكائي في اعتقاد أهل السنة (153)، وأبو نعيم في الحلية (9/238)، وصححه الحافظ السيوطي في الجامع الصغير (1/88). قال الشيخ شعيب الأرناءوط: والحديث بمجموع رواياته يتقوى، فيكون حجة اهـ (سير أعلام النبلاء - (ج 12 / ص 197).

"Dari Anas bin Malik t, berkata: "Aku mendengar Rasulullah J bersabda: "Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah kelompok mayoritas."[23]

Hadits di atas memberikan penjelasan, bahwa ketika umat Islam terpecah belah dalam beragam golongan, maka golongan yang harus diikuti adalah golongan mayoritas, karena golongan mayoritas adalah golongan yang selamat (al-firqah al-najiyah).

Dalam hadits lain, Rasulullah J juga bersabda:

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J:ثَلاَثٌ لاَ يَغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ الْمُؤْمِنِ: إِخْلاَصُ الْعَمَلِ، وَالنَّصِيْحَةُ لِوَلِيِّ اْلأَمْرِ، وَلُزُوْمُ الْجَمَاعَةِ، فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تَكُوْنُ مِنْ وَرَائِهِمْ. رواه الترمذي (2582) وأحمد (12871) والحاكم (1/88) وقال : صحيح على شرط الشيخين.

"Ibn Mas'ud berkata, Rasulullah J bersabda: "Tiga perkara yang dapat membersihkan hati seorang mukmin dari sifat dendam dan kejelekan, yaitu tulus dalam beramal, berbuat baik kepada penguasa, dan selalu mengikuti kebanyakan kaum Muslimin, karena doa mereka akan selalu mengikutinya."[24]

Hadits ini memberikan pengertian bahwa orang yang selalu mengikuti ajaran mayoritas kaum Muslimin dalam hal akidah dan amal shaleh, maka barokah doa mereka akan selalu mengikuti dan melindunginya dari sifat dengki dan kesesatan dalam beragama. Sedangkan orang yang keluar dari ajaran mayoritas kaum Muslimin, maka tidak akan memperoleh barokah doa mereka, sehingga tidak akan terjaga dari sifat dengki dan kesesatan dalam beragama.[25]

Kedua hadits di atas memberikan pengertian bahwa golongan yang selamat adalah golongan mayoritas. Hal ini sesuai dengan madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi, karena realita yang ada ajarannya diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin di dunia, dari dulu hingga kini. Disamping itu, hadits tersebut juga menunjukkan pada arti keharusan mengikuti madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi, karena mengikutinya berarti mengikuti mayoritas kaum Muslimin. Dan keluar dari madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi, berarti keluar dari golongan mayoritas kaum Muslimin.[26]

Di sisi lain, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa maksud al-sawad al-a'zham dalam hadits tersebut adalah mayoritas ulama yang memiliki ilmu yang mendalam dan pendapatnya dapat diikuti. Pendapat ini diriwayatkan dari Abdullah bin al-Mubarak, Ishaq bin Rahawaih dan lain-lain.[27] Pendapat ini juga hanya sesuai dengan madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi, karena berdasarkan kesepakatan para pakar, madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi diikuti oleh mayoritas ulama dari kalangan ahli fiqih, ahli hadits, ahli tafsir, ahli tashawuf dan lain-lain. Realita bahwa mayoritas ulama terkemuka mengikuti madzhab al-Asy'ari juga diakui oleh Abdurrahman bin Shalih al-Mahmud –ulama Wahhabi kontemporer-, yang mengatakan:

"Diantara sebab tersebarnya madzhab al-Asy'ari ialah, bahwa mayoritas ulama berpegangan dengannya dan membelanya, lebih-lebih para fuqaha madzhab al-Syafi'i dan al-Maliki... Tokoh-tokoh yang mengadopsi madzhab al-Asy'ari adalah al-Baqillani, Ibn Furak, al-Baihaqi, al-Asfarayini, al-Syirazi, al-Juwaini, al-Qusyairi, al-Baghdadi, al-Ghazali, al-Razi, al-Amidi, al-'Izz bin Abdissalam, Badruddin bin Jama'ah, al-Subki dan masih banyak ulama-ulama yang lain. Mereka bukan sekedar pengikut madzhab al-Asy'ari saja, bahkan mereka penulis dan pengajak pada madzhab ini. Oleh karena itu mereka menyusun banyak karangan dan menggembleng murid-murid yang begitu banyak."[28]

Hadits di atas tidak tepat diterapkan terhadap aliran-aliran selain madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi, seperti aliran Syi'ah Imamiyah, Syi'ah Zaidiyah, Khawarij, Wahhabi [Salafi], Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin dan lain-lain, karena kelompok mereka minoritas, diikuti oleh sebagian kecil kaum Muslimin. Hal tersebut berbeda dengan aliran al-Asy'ari dan al-Maturidi, yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin, baik dari kalangan awam maupun kalangan ulama.

Dewasa ini, kalangan Wahhabi berupaya mengacaukan maksud hadits di atas dan hadits-hadits lain yang serupa, dengan asumsi bahwa kelompok mayoritas tidak dapat menjadi bukti benar dan tidaknya suatu ajaran. Menurut mereka, justru dengan jumlah kelompok mereka (Wahhabi) yang sedikit, menjadi bukti bahwa merekalah kelompok yang benar, karena dalam al-Qur'an sendiri seringkali disebutkan, bahwa kebenaran selalu bersama kelompok minoritas, seperti dalam ayat, "kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini", [QS. Shad : 24], "dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih", [QS. Saba' : 13], dan ayat, "Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)", [QS. Yusuf : 106] dan lain-lain.

Tentu saja asumsi kalangan Wahhabi tersebut tidak dapat dibenarkan. Para ulama mengatakan, bahwa ketiga ayat di atas tidak tepat dijadikan dalil kebenaran kelompok yang memiliki jumlah minoritas, karena beberapa alasan. Pertama, berkaitan dengan dua ayat yang pertama, kata "sedikit", dalam dua ayat tersebut, harus diposisikan pada konteks "sedikit" yang nisbi, yaitu adakalanya diletakkan dalam pengertian sedikit yang bersifat umum dan adakalanya diletakkan dalam pengertian sedikit yang bersifat khusus. Dalam pengertian umum, kaum Muslimin selalu sedikit dibandingkan dengan jumlah kaum non-Muslim. Sedangkan dalam pengertian khusus, kaum Muslim yang tulus, istiqamah dan konsisten secara sempurna dalam menjalankan perintah agama selalu sedikit dibandingkan dengan jumlah mereka yang tidak konsisten secara sempurna. Tetapi semua kaum Muslim yang konsisten dengan sempurna, konsisten kurang sempurna dan yang tidak konsisten menjalankan perintah agama, juga tetap dikatakan Muslim yang beriman. Dan selama mereka mengikuti akidah mayoritas kaum Muslimin, mereka termasuk pengikut Ahlussunnah Wal-Jama'ah.

Kedua, penempatan ayat ketiga, yaitu ayat, "Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)", [QS. Yusuf : 106], terhadap mayoritas kaum Muslimin adalah tidak tepat, karena berdasarkan kesepakatan para ulama tafsir, ayat tersebut turun berkenaan dengan kaum penyembah bintang, penyembah berhala, umat Yahudi dan Kristen. Menempatkan ayat di atas terhadap kaum Muslimin, berarti mengikuti tradisi kaum Khawarij, seperti yang dikatakan oleh Ibn Umar dalam riwayat Shahih al-Bukhari.[29]

2. Mengikuti Ajaran Nabi J dan Sahabat

Sifat Ahlussunnah Wal-Jama'ah yang kedua, adalah mengikuti ajaran Nabi J dan ajaran sahabatnya. Hal tersebut sesuai dengan hadits berikut ini:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو t قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ J "إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي". (رواه الترمذي (2565) وقال: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ ).

"Dari Abdullah bin Amr t, bekata: "Rasulullah J bersabda: "Sesungguhnya umat Bani Isra'il terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan yang akan selamat." Para sahabat bertanya: "Siapa satu golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Golongan yang mengikuti ajaranku dan ajaran sahabatku."[30]

Hadits di atas memberikan penjelasan, bahwa kelompok yang selamat, ketika umat Islam terpecah belah menjadi berbagai kelompok, adalah kelompok yang konsisten dan selalu mengikuti ajaran Nabi J dan ajaran sahabatnya. Itu sesuai dengan madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi yang dalam segala hal selalu mengikuti ajaran Nabi J dan ajaran sahabatnya. Dalam konteks ini, al-Hafizh al-Zabidi berkata:

وَلْيُعْلَمْ أَنَّ كُلاًّ مِنَ اْلإِمَامَيْنِ أَبِي الْحَسَنِ وَأَبِيْ مَنْصُوْرٍ - رَضِيَ الله عَنْهُمَا - وَجَزَاهُمَا عَنِ اْلإِسْلاَمِ خَيْراً لَمْ يُبْدِعَا مِنْ عِنْدِهِمَا رَأْياً وَلَمْ يَشْتَقَّا مَذْهَباً إِنَّمَا هُمَا مُقَرِّرَانِ لِمَذَاهِبِ السَّلَفِ مُنَاضِلاَنِ عَمَّا كَانَتْ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ J... وَنَاظَرَ كُلٌّ مِنْهُمَا ذَوِي الْبِدَعِ وَالضَّلاَلاَتِ حَتَّى انْقَطَعُوْا وَوَلّوْا مُنْهَزِمِيْنَ اهـ. (الحافظ الزبيدي، إتحاف السادة المتقين 2/7).

"Hendaknya diketahui, bahwa masing-masing dari al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari dan al-Imam Abu Manshur al-Maturidi –semoga Allah meridhai keduanya dan membalas kebaikan mereka kepada Islam-, tidak membuat pendapat baru dan tidak menciptakan madzhab baru dalam Islam. Mereka hanya menetapkan pendapat-pendapat ulama salaf, dan membela ajaran sahabat Rasulullah J. Mereka telah berdebat dengan kalangan ahli bid'ah dan kesesatan sampai mereka takluk dan melarikan diri."[31]

Secara riil, pengikut madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi atau Ahlussunnah Wal-Jama'ah, adalah golongan yang konsisten dan selalu mengikuti ajaran Nabi J dan ajaran sahabatnya. Hal tersebut berbeda dengan aliran-aliran yang lain seperti Syi'ah, Mu'tazilah, Khawarij, Jahmiyah, Najjariyah, Musyabbihah, Ghulat, Hululiyah dan Wahhabi.

Aliran Mu'tazilah tidak mungkin diakui sebagai pengikut ajaran sahabat, karena pemimpin mereka, Abu Ishaq Ibrahim bin Sayyar al-Nazhzham (w. 231 H/845 M) -pendiri aliran Nazhzhamiyah-, telah menghujat sebagian besar sahabat. Al-Nazhzham juga menganggap Ibn Mas'ud ra tidak adil dan tersesat karena meriwayatkan hadits Nabi J, "Sesungguhnya orang yang bahagia adalah orang yang [ditetapkan bahagia] pada saat dalam kandungan ibunya. Dan orang yang celaka adalah orang yang [ditetapkan] celaka pada saat dalam kandungan ibunya." Al-Nazhzham juga menghujat fatwa-fatwa Sayidina Umar dan Sayidina Ali. Dia juga mencaci maki Sayidina Utsman, menganggap Abu Hurairah pembohong karena banyak meriwayatkan hadits yang bertentangan dengan ajaran Mu'tazilah. Dia juga menghujat para sahabat yang berfatwa berdasarkan ijtihadnya. Dia juga menganggap tokoh-tokoh sahabat, bodoh dan munafik. Dia juga tidak mengakui ijma' sahabat sebagai hujjah. Dengan demikian, orang seperti al-Nazhzham tidak mungkin dikatakan mengikuti ajaran sahabat, karena dia sendiri menghujat mereka.

Sedangkan Abu Hudzaifah Washil bin Atha' al-Ghazzal (80-131 H/700-748 M), pemimpin Mu'tazilah juga dan pendiri aliran Washiliyah, meragukan keadilan Ali, Hasan, Husain, Ibn Abbas, Thalhah, Zubair, Aisyah dan semua pengikut Perang Jamal dari kedua belah pihak. Dalam hal ini dia berkata, "Andaikan Ali dan Thalhah bersaksi di hadapanku tentang satu buket sayuran, aku tidak akan menerima kesaksian keduanya, karena aku meyakini kefasikan salah satunya, tetapi aku tidak mengetahui secara pasti siapa diantara keduanya yang fasik." Berangkat dari pandangan Washil bin Atha' tersebut, boleh jadi Ali dan pengikutnya adalah orang-orang yang fasik yang kekal di neraka. Dan boleh jadi pihak lain, yaitu Aisyah, Thalhah, Zubair dan pengikut mereka dalam Perang Jamal adalah orang-orang yang fasik yang kekal di neraka. Washil meragukan keadilan Ali, Thalhah dan Zubair, padahal Nabi J telah menyaksikan mereka sebagai penduduk surga, disamping mereka juga ikut dalam bai'at al-ridhwan yang dipuji oleh Allah dalam al-Qur'an:

* ôs)©9 š_ÅÌu ª!$# Ç`tã šúüÏZÏB÷sßJø9$# øŒÎ) štRqãè΃$t7ム|MøtrB Íotyf¤±9$# zNÎ=yèsù $tB Îû öNÍkÍ5qè=è% tAtRr'sù spuZŠÅ3¡¡9$# öNÍköŽn=tã öNßgt6»rOr&ur $[s÷Gsù $Y6ƒÌs% ÇÊÑÈ

"Sesungguhnya Allah Telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)." (QS. al-Fath : 18).

Sedangkan Amr bin Ubaid (80-144 H/699-761 M), pemimpin Mu'tazilah, mengikuti pendapat Washil bin Atha' mengenai para sahabat yang terlibat dalam Perang Jamal, dan menambahnya dengan pendapat bahwa kelompok Ali dan kelompok Aisyah sama-sama fasik. Berbeda dengan Washil, yang menganggap fasik salah satunya. Berangkat dari pendapat Amr bin Ubaid tersebut yang menilai fasik kedua kelompok itu, membawa pada kesimpulan bahwa Ali, Hasan, Husain, Ibn Abbas, Ammar, Abu Ayyub al-Anshari, Khuzaimah bin Tsabit al-Anshari [yang kesaksiannya oleh Nabi J disamakan dengan kesaksian dua orang laki-laki yang adil], semua pengikut Ali, Thalhah, Zubair, Aisyah dan semua pengikut Perang Jamal –yang diantara mereka terdapat ribuan sahabat-, adalah orang-orang fasik yang akan kekal di neraka.

Sedangkan Abu al-Hudzail al-'Allaf (135-235 H/753-850 M), al-Jahizh (163-255 H/780-869 M) dan mayoritas Mu'tazilah, dalam menyikapi sahabat yang terlibat dalam Perang Jamal, mengikuti pendapat Washil bin Atha'. Dengan demikian, golongan Mu'tazilah tidak dapat dikatakan pengikut sahabat Nabi J, karena mereka menilai sebagian besar sahabat itu fasik dan akan menghuni neraka. Kaum Mu'tazilah juga menolak kesaksian sebagian besar sahabat, sehingga sudah barang tentu mereka akan menolak hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sahabat. Oleh karena itu, tidak mungkin mereka dikatakan mengikuti jejak dan ajaran sahabat.

Sedangkan golongan Khawarij, juga tidak bisa dikatakan mengikuti ajaran sahabat, karena mereka mengkafirkan para sahabat seperti Ali, Hasan, Husain, Ibn Abbas, Abu Ayyub al-Anshari, Utsman bin Affan, Aisyah, Thalhah dan Zubair. Mereka juga mengkafirkan semua pengikut Ali dan Muawiyah yang masih setia setelah terjadinya tahkim (arbitrase). Mereka juga mengkafirkan orang yang melakukan perbuatan dosa. Oleh karena itu, tidak mungkin, Khawarij dikatakan mengikuti ajaran sahabat, karena mereka mengkafirkan sebagian besar sahabat.

Sedangkan golongan Syi'ah Imamiyah, juga tidak mungkin dikatakan mengikuti ajaran sahabat. Karena mereka mengkafirkan mayoritas sahabat setelah Nabi J wafat. Menurut mereka, setelah Nabi J wafat, mayoritas sahabat menjadi murtad kecuali tiga orang.

Sedangkan golongan Syi'ah Zaidiyah, yang mengikuti aliran Jarudiyah, mengkafirkan Abu Bakar, Umar, Utsman dan mayoritas sahabat. Sehingga tidak mungkin mereka mengikuti ajaran sahabat, karena mereka sendiri mengkafirkan mayoritas sahabat. Sedangkan golongan Zaidiyah yang beraliran Sulaimaniyah dan Butriyah, mengkafirkan Utsman, menilai fasik orang-orang yang membela Utsman, dan mengkafirkan mayoritas pengikut Perang Jamal.[32]

Dewasa ini juga berkembang aliran Wahhabi yang menamakan dirinya aliran Salafi (pengikut Salaf). Mereka juga memiliki pandangan-pandangan yang berbeda dengan ajaran sahabat dan salaf yang saleh, sehingga mereka tidak dapat dikatakan mengikuti ajaran sahabat dan salaf, dan sudah barang tentu bukan aliran Ahlussunnah Wal-Jama'ah atau al-firqah al-najiyah.

3. Pengayom Umat dan Pengemban Ilmu Agama dalam Setiap Masa

Ciri khas Ahlussunnah Wal-Jama'ah yang keempat, adalah ulama-ulama mereka selalu tampil menjadi pengemban ilmu agama dan rujukan kaum Muslimin dalam setiap generasi. Hal tersebut seperti ditegaskan oleh Hadlratusysyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy'ari berikut ini:

قَالَ الشِّهَابُ الْخَفَاجِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى فِي نَسِيْمِ الرِيَاضِ: وَالْفِرْقَةُ النَّاجِيَةُ هُمْ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ. وَفِيْ حَاشِيَةِ الشَّنَوَانِيِّ عَلىَ مُخْتَصَرِ ابْنِ أَبِيْ جَمْرَةَ: هُمْ أَبُو الْحَسَنِ اْلأَشْعَرِيُّ وَجَمَاعَتُهُ أَهْلُ السُّنَّةِ وَأَئِمَّةُ الْعُلَمَاءِ، لأَنَّ اللهَ تَعَالَى جَعَلَهُمْ حُجَّةً عَلىَ خَلْقِهِ، وَإِلَيْهِمْ تَفْزَعُ الْعَامَّةُ فِيْ دِيْنِهِمْ، وَهُمُ الْمَعْنِيُّوْنَ بِقَوْلِهِ J: إِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلاَلَةٍ. (الشيخ محمد هاشم أشعري، رسالة أهل السنة والجماعة ص/23).

"Al-Syihab al-Khafaji berkata dalam kitab Nasim al-Riyadh, "Golongan yang selamat adalah Ahlussunnah Wal-Jama'ah." Dalam catatan pinggir al-Syanawai atas Mukhtashar Ibn Abi Jamrah terdapat keterangan, "Mereka [Ahlussunnah Wal-Jama'ah] adalah Abu al-Hasan al-Asy'ari dan pengikutnya yang merupakan Ahlussunnah dan pemimpin para ulama. Karena Allah SWT menjadikan mereka sebagai hujjah atas makhluk-Nya dan hanya mereka yang menjadi rujukan kaum Muslimin dalam urusan agama. Mereka yang dimaksud dengan sabda Nabi J: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku atas kesesatan."[33]

Penjelasan Hadlratusysyaikh tersebut sesuai dengan hadits shahih berikut ini:

عَنْ إِبْرَاهِيْمَ الْعُذْرِيِّ t قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J: يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفَوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ. (رواه ابن عدي في الكامل (1/118)، والبيهقي في السنن الكبرى (10/209)، وابن بطة في الابانة (34)، وأبو نعيم في معرفة الصحابة (694)، وابن عساكر في تاريخ دمشق (7/38-39) وغيرهم. قال الخطيب سئل أحمد بن حنبل عن هذا الحديث، فقال هو صحيح سمعته من غير واحد. وانظر مشكاة المصابيح (248)، وكنـز العمال 10/176).

"Dari Ibrahim al-'Udzri t, dia berkata: "Rasulullah e bersabda: "Ilmu agama ini akan dibawa/disampaikan oleh orang-orang yang adil (dipercaya) dalam setiap generasi. Mereka akan membersihkan ilmu agama tersebut dari distorsi (pemalsuan) kelompok yang ekstrem, kebohongan mereka yang bermaksud jahat dan penafsiran mereka yang bodoh."[34]

Hadits di atas memberikan penjelasan, bahwa ajaran agama Islam ini akan selalu disampaikan oleh para ulama yang dapat dipercaya dari generasi ke generasi, yang selalu berperan membersihkan ajaran agama dari pemalsuan kelompok yang ekstrem, membersihkan dari kebohongan kelompok yang bermaksud jahat dan penafsiran orang-orang yang bodoh. Menurut al-Imam Ibn Rusyd al-Qurthubi (450-520 H/1058-1126 M) dalam kitab al-Fatawa-nya, yang dimaksud dengan orang-orang yang adil dalam hadits tersebut adalah para ulama yang mengikuti madzhab al-Asy'ari seperti al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari, Abu Ishaq al-Asfarayini, Abu Bakar al-Baqillani, Abu Bakar bin Furak, Abu al-Ma'ali Imam al-Haramain, al-Ghazali dan lain-lain.[35]

Berkaitan dengan substansi hadits tersebut, apabila kita mengkaji sejarah peradaban Islam, akan dijumpai bahwa para pakar terkemuka dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan Islam dalam setiap generasi, adalah para ulama yang mengikuti madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi. Terkait dengan hal tersebut, marilah kita mencoba menyimak nama-nama para pakar dalam berbagai ilmu pengetahuan Islam yang menjadi rujukam umat dalam setiap masa.

a. Tafsir al-Qur'an

Para pakar terkemuka dalam bidang tafsir al-Qur'an, dalam setiap masa terdiri dari para ulama yang mengikuti madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi. Karya-karya mereka dalam bidang tafsir al-Qur'an, menjadi materi kajian kaum Muslimin seluruh dunia. Mereka diantaranya adalah:

° Al-Imam Abu al-Laits Nashr bin Muhammad al-Samarqandi (w. 393 H/1003 M), pengarang tafsir Bahr al-'Ulum (4 jilid)

° Al-Imam Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi al-Naisaburi al-Syafi'i (w. 468 H/1076 M) pengarang tafsir al-Basith, al-Wasith, al-Wajiz dan kitab Asbab al-Nuzul.

° Al-Imam al-Hafizh Muhyissunnah Abu Muhammad al-Husan bin Mas'ud al-Baghawi al-Syafi'i (433-516 H/1041-1122 M) pengarang tafsir Ma'alim al-Tanzil (4 jilid).

° Al-Imam Abu Muhammad Abdul Haqq bin Ghalib bin Abdurrahman bin Athiyyah al-Gharnathi al-Andalusi (481-542 H/1088-1148 M), pengarang al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-'Aziz (8 jilid).

° Al-Hafizh Ibn al-Jauzi al-Hanbali, pengarang Zad al-Masir fi 'Ilm al-Tafsir (8 jilid).

° Al-Imam Fakhruddin al-Razi, pengarang al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib (32 juz).

° Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Maliki al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M), pengarang tafsir al-Jami' li-Ahkam al-Qur'an (20 jilid).

° Al-Imam Nashiruddin Abu Sa'ad Abdullah bin Umar al-Syirazi al-Baidhawi al-Syafi'i (w. 685 H/1286 M) pengarang tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta'wil.

° Al-Imam Hafizhuddin Abu al-Barakat Abdullah bin Ahmad bin Mahmud al-Nasafi al-Hanafi (w. 710 H/1310 M) pengarang tafsir Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Ta'wil (4 jilid).

° Al-Imam 'Alauddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al-Khazin al-Baghdadi al-Syafi'i (678-741 H/1279-1340 M) pengarang tafsir Lubab al-Ta'wil fi Ma'ani al-Tanzil (4 jilid).

° Al-Imam Abu Hayyan Muhammad bin Hayyan al-Andalusi (654-745 H/1256-1344 M), pengarang tafsir al-Bahr al-Muhith (8 jilid) dan tafsir al-Nahr al-Mad (4 jilid).

° Al-Imam Ahmad bin Yusuf al-Samin al-Halabi (w. 756 H/1355 M), pengarang tafsir al-Durr al-Mashun fi 'Ilm al-Kitab al-Maknun.

° Al-Imam al-Hafizh Abu al-Fida' Ismail bin Katsir al-Dimasyqi al-Syafi'i (700-774 H/1301-1373 M), pengarang Tafsir al-Qur'an al-'Azhim (4 jilid), tafsir al-Qur'an terbaik dalam metodologi ma'tsur.[36]

° Al-Imam Burhanuddin Abu al-Hasan Ibrahim bin Umar al-Biqa'i al-Syafi'i (809-885 H/1406-1480 M), pengarang tafsir Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar (8 jilid), karya terbaik dalam memaparkan korelasi antar ayat-ayat al-Qur'an.

° Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, pengarang Tafsir al-Jalalain, al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma'tsur dan lain-lain.

° Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khathib al-Syirbini al-Syafi'i (w. 977 H/1570 M) pengarang tafsir al-Siraj al-Munir (4 jilid).

° Al-Imam Abu al-Su'ud Muhammad bin Muhammad bin Musthafa al-'Imadi al-Hanafi (898-982 H/1493-1574 M) pengarang tafsir Irsyad al-'Aql al-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim (6 jilid).

° Al-Imam Isma'il Haqqi bin Musthafa al-Burusawi al-Hanafi (1063-1138 H/1653-1725 M) pengarag Ruh al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an (10 jilid).

° Al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin Umar al-Jamal al-'Ujaili al-Syafi'i (w. 1204 H/1790 M) pengarang a-Futuhat al-Ilahiyyah bi-Taudhih Tafsir al-Jalalain bi al-Daqaiq al-Khafiyyah (4 jilid).

° Al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Maliki (1175-1241 H/1761-1825 M) pengarang Hasyiyah 'ala Tafsir al-Jalalain (4 jilid).

° Al-Imam Syihabuddin Abu al-Tsana' Mahmud bin Abdullah al-Husaini al-Alusi (1217-1270 H/1802-1854 M) pengarang tafsir Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-Qur'an al-'Azhim wa al-Sab'i al-Matsani (30 jilid).

° Al-Imam Muhammad al-Thahir bin 'Asyur al-Tunisi al-Maliki (1296-1393 H/1879-1973 M) pengarang tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir.

° Syaikh Sa'id Hawwa, pengarang al-Asas fi al-Tafsir.

° Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, pengarang Shafwat al-Tafasir, Rawai'u al-Bayan, Tanwir al-Adzhan dan lain-lain.

° Syaikh Wahbah al-Zuhaili al-Syafi'i, pengarang al-Tafsir al-Munir fi al-'Aqidah wa al-Syari'ah wa al-Manhaj (16 jilid).

b. Ilmu Hadits

Dalam bidang ilmu hadits, baik dari aspek dirayah (analisa dan pemahaman substansi hadits) maupun dari aspek riwayah (analisa dan struktur genealogi hadits), pengikut madzhab al-Asy'ari ada di barisan terdepan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa hal; pertama, mayoritas ahli hadits, dalam bidang ideologi mengikuti madzhab al-Asy'ari; kedua, komentator (penuliss syarh) terhadap Shahih al-Bukhari hanya dilakukan oleh para ulama madzhab al-Asy'ari; dan ketiga, sanad-sanad hadits [dan ilmu pengetahuan Islam yang lain] yang ada sekarang hanya melalui para ulama madzhab al-Asy'ari. Berikut ini akan dijelaskan beberapa ulama madzhab al-Asy'ari yang menulis komentar (syarh) terhadap kitab-kitab hadits yang populer.

° Al-Hafizh Abu Sulaiman al-Khaththabi al-Busti al-Syafi'i, pengarang Ma'alim al-Sunan [Syarh Sunan Abi Dawud].

° Al-Hafizh Abu al-Walid Sulaiman bin Khalaf al-Baji al-Maliki, pengarang kitab al-Muntaqa fi Syarh al-Muwaththa'.

° Al-Hafizh Ibn Abdil Barr al-Qurthubi al-Maliki, pengarang al-Istidzkar [Syarh al-Muwaththa'] dan lain-lain.

° Al-Hafizh Ibn al-'Arabi al-Isybili al-Maliki, pengarang 'Aridhat al-Ahwadzi fi Syarh Jami' al-Tirmidzi (8 jilid), al-Qabas fi Syarh Muwaththa' Malik bin Anas (4 jilid) dan lain-lain.

° Al-Hafizh Muhammad bin Ali al-Mazari al-Maliki (453-536 H/1061-1141 M), pengarang al-Mu'allim bi-Fawaid Muslim.

° Al-Hafizh al-Qadhi Iyadh al-Maliki, pengarang Ikmal al-Mu'allim bi-Fawaid Muslim.

° Al-Hafizh al-Nawawi al-Syafi'i, pengarang Syarh Shahih Muslim.

° Al-Hafizh Waliyyuddin Abu Zur'ah Ahmad bin Abdirrahim al-'Iraqi al-Syafi'i (762-826 H/1361-1423 M) pengarang Tharh al-Tatsrib fi Syarh al-Taqrib (8 juz) dan lain-lain.

° Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani al-Syafi'i, pengarang Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari.

° Al-Hafizh Badruddin Mahmud bin Ahmad al-'Aini al-Hanafi (762-855 H/1361-1451 M), pengarang 'Umdat al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari.

° Al-Imam Muhammad bin Khalifah al-Ubbi al-Wasytani al-Maliki (w. 827 H/1424 M) pengarang kitab Ikmal Ikmal al-Mu'aliim [Syarh Shahih Muslim].

° Al-Imam Muhammad bin Yusuf al-Sanusi al-Maliki, pengarang Mukammil Ikmal al-Ikmal [Syarh Shahih Muslim] dan Syarh Shahih al-Bukhari.

° Al-Imam Syihabuddin Abu al-'Abbas Ahmad bin Muhammad al-Qasthalani al-Syafi'i (851-923 H/1448-1517 M) pengarang kitab Irsyad al-Sari li-Syarh Shahih al-Bukhari.

° Al-Hafizh Syaikh al-Islam Abu Yahya Zakariya bin Muhammad al-Anshari al-Syafi'i (826-926 H/1423-1420 M), pengarang kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Syarh Shahih Muslim dan lain-lain.

° Al-Imam Mulla Ali bin Sulthan Muhammad al-Qari al-Harawi al-Hanafi (w. 1014 H/1606 M)), pengarang kitab Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih.

° Al-Hafizh Muhammad Abdurrauf bin Tajul 'Arifin al-Munawi al-Syafi'i (952-1031 H/1545-1622 M), pengarang kitab Faidh al-Qadir (6 jilid), al-Taisir [keduanya Syarh al-Jami' al-Shaghir] dan lain-lain.

c. Ilmu Fiqih

Dalam paparan sebelumnya telah dijelaskan, bahwa para ulama fiqih madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan ulama terkemuka madzhab Hanbali (fudhala' al-hanabilah), dalam bidang ideologi mengikuti madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi. Sehingga sudah barang tentu, para ulama fuqaha yang menjadi rujukan mayoritas kaum Muslimin di dunia, adalah pengikut madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi.

d. Ilmu Ushul Fiqih

Dalam paparan sebelumnya juga telah dijelaskan, bahwa para ulama fiqih madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan ulama terkemuka madzhab Hanbali (fudhala' al-hanabilah), dalam bidang ideologi mengikuti madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi. Sehingga sudah barang tentu, para ulama ushul fiqih terkemuka dalam setiap masa adalah para ulama yang mengikuti madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi. Berikut ini akan dikemukakan beberapa ulama ushul fiqih dan karya-karya penting mereka dalam bidang ushul fiqih yang populer dan menjadi kajian kaum pelajar dan intelektual dunia Islam dari berbagai madzhab.

° Imam al-Haramain Abu al-Ma'ali, pengarang al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, al-Waraqat dan lain-lain.

° Syaikh Abu Ishaq al-Syirazi, al-Luma' fi Ushul al-Fiqh, al-Tabshirah fi Ushul al-Fiqh, Syarh al-Luma' dan lain-lain.

° Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali, pengarang al-Mustashfa min 'Ilm al-Ushul, al-Mankhul min Ta'liqat al-Ushul, al-Asas fi al-Qiyas, Syifa' al-'Alil dan lain-lain.

° Saifuddin al-Amidi, pengarang kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.

° Al-Imam Fakhruddin al-Razi, pengarang al-Mahshul fi 'Ilm al-Ushul, al-Muhashshal dan al-Arba'in.

° Al-Imam Nashiruddin al-Baidhawi, pengarang kitab Minhaj al-Wushul ila 'Ilm al-Ushul.

° Al-Imam Jamaluddin Abu Amr Utsman bin Umar al-Maliki, dikenal dengan Ibn al-Hajib (570-646 H/1174-1249 M), pengarang kitab Muntaha al-Sul wa al-Amal fi 'Ilmay al-Ushul wa al-Jadal dan Mukhtashar Muntaha al-Sul wa al-Amal.

° Al-Imam al-Syarif Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Idrisi al-Hasani al-Tilimsani (710-771 H/1310-1370 M), pengarang kitab Miftah al-Wushul ila Bina' al-Furu' 'ala al-Ushul.

° Al-Imam Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali al-Subki al-Syafi'i (728-771 H/1327-1370 M), pengarang kitab Jam'u al-Jawami', Man'u al-Mawani' 'an Jam'i al-Jawami', Syarh Mukhtashar Ibn al-Hajib dan lain-lain.

° Al-Imam Jamaluddin Abu Muhammad Abdurrahim bin al-Hasan al-Isnawi (704-772 H/1305-1370 M), pengarang kitab Nihayat al-Sul Syarh Minhaj al-Wushul, al-Tamhid fi Takhrij al-Furu' 'ala al-Ushul, al-Kaukab al-Durri dan lain-lain.

° Al-Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Syathibi (w. 790 H/1388 M), pengarang kitab al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam.

° Al-Imam Badruddin Abu Abdillah Muhammad bin Bahadir al-Zarkasyi al-Syafi'i (745-794 H/1344-1392 M), pengarang kitab Tasynif al-Masami' Syarh Jam'i al-Jawami' dan al-Bahr al-Muhith fi Ushul al-Fiqh (8 jilid).

° Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari, pengarang kitab Ghayat al-Wushul Syarh Lubb al-Ushul.

° Al-Imam Syamsuddin Ahmad bin Qasim al-Shabbagh al-'Ubbadi (w. 992 H/1584 M), pengarang kitab al-Ayat al-Bayyinat [Hasyiyah 'ala Syarh Jam'u al-Jawami'], Syarh al-Waraqat dan lain-lain.

° Al-Imam Abdurrahman bin Jadullah al-Bannani al-Maliki (w. 1198 H/1784 M), pengarang kitab Hasyiyah al-Bannani 'ala Syarh Jam'i al-Jawami'.

° Al-Imam Muhammad Bakhit bin Husain al-Muthi'i al-Hanafi (1271-1354 H/1854-1935 M), pengarang kitab Sullam al-Wushul li-Syarh Nihayat al-Sul.

° Al-Imam Muhammad Abu Zahrah bin Ahmad (1316-1394 H/1898-1974 M), pengarang kitab Ushul al-Fiqh.

° Syaikh Wahbah al-Zuhaili, pengarang kitab Ushul al-Fiqh al-Islami.

e. Sirah Nabi J dan Maghazi

Dalam bidang ilmu sirah (sejarah kehidupan dan perjalanan Nabi J) dan maghazi (sejarah peperangan Nabi J), para ulama madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi memiliki peran terbesar di dalamnya. Menurut al-Imam Abu al-Muzhaffar al-Asfarayini, ilmu sirah dan maghazi adalah ilmu yang khusus dimiliki ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Berikut ini akan dikemukakan beberapa ulama madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi serta karya-karya mereka dalam bidang sirah dan maghazi yang populer dan menjadi rujukan para pakar dan intelektual.

° Al-Imam al-Hafizh Abu Nu'aim al-Ashbihani, pengarang kitab Dalail al-Nubuwwah.

° Al-Imam al-Hafizh al-Baihaqi, pengarang kitab Dalail al-Nubuwwah wa Ahwal Shahib al-Syari'ah.

° Al-Imam al-Hafizh al-Qadhi Iyadh, pengarang al-Syifa fi Syamail wa Ahwal al-Mushthafa.

° Al-Imam al-Hafizh Ibn al-Jauzi al-Hanbali, pengarang kitab al-Wafa bi-Ahwal al-Mushthafa.

° Al-Hafizh Abdurrahman bin Abdullah al-Suhaili (508-581 H/1114-1185 M) pengarang kitab al-Raudh al-Unuf.

° Al-Hafizh Fathuddin Abu al-Fath Muhammad Ibn Sayyid al-Nas al-Ya'muri (671-734 H/1273-1334 M), pengarang kitab 'Uyun al-Atsar fi Funun al-Maghazi wa al-Syamail wa al-Siyar.

° Al-Imam Taqiyyuddin Abu al-'Abbas Ahmad bin Ali bin Abdul Qadir al-Maqrizi (768-845 H/1367-1441 M), pengarang kitab Imta' al-Asma' bima lil-Rasul mina al-Abna' wa al-Ahwal wa al-Hafadah wa al-Mata'.

° Al-Imam Nuruddin Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim al-Halabi al-Syafi'i (975-1044 H/1567-1635 M), pengarang kitab Insan al-'Uyun fi Sirah al-Amin al-Ma'mun yang dikenal dengan al-Sirah al-Halabiyyah.

° Al-Imam Syihabuddin al-Qasthalani, pengarang kitab al-Mawahib al-Ladunniyyah.

° Al-Imam al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf al-Syami al-Shalihi (w. 942 H/1536 M), pengarang kitab Subul al-Huda wa al-Rasyad fi Sirah Khair al-'Ibad.

° Al-Imam al-Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan al-Makki, pengarang kitab al-Sirah al-Nabawiyyah.

f. Sejarah Islam

Dalam bidang sejarah Islam, karya-karya terbaik dalam bidang tersebut, ditulis oleh para ulama yang bermadzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi. Diantara mereka adalah:

° Al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi, pengarang Tarikh Baghdad.

° Al-Hafizh al-Hakim, pengarang Tarikh Naisabur.

° Al-Hafizh Abu Nu'aim, pengarang Dzikr Akhbar Ashbihan.

° Al-Hafizh Ibn Asakir, pengarang Tarikh Madinah Dimasyq.

° Al-Hafizh Ibn al-Jauzi al-Hanbali, pengarang al-Muntazham fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam.

° Al-Imam Izzuddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad, yang dikenal dengan Ibn al-Atsir al-Jazari (555-630 H/1160-1233 M), pengarang al-Kamil fi al-Tarikh.

° Al-Imam Abu al-Qasim Abdul Karim bin Muhammad al-Rafi'i (557-623 H/1162-1226 M), pengarang al-Tadwin fi Dzikr Akhbar Qazwin.

° Al-Imam Waliyyuddin Abu Zaid Abdurrahman Ibn Khaldun al-Hadhrami (732-808 H/1332-1406 M), pengarang al-'Ibar wa Diwan al-Mubtada' wa al-Khabar fi Tarikh al-'Arab wa al-'Ajam wa al-Barbar yang dikenal dengan Tarikh Ibn Khaldun (7 jilid).

g. Biografi Para Ulama dan Tokoh

Dalam bidang biografi para ulama dan tokoh-tokoh Islam, karya-karya terbaik selalu ditulis oleh para ulama bermadzhab al-Asy'ari. Misalnya, para ulama yang menulis biografi para sahabat Nabi J, seperti:

° Al-Hafizh Abu Nu'aim, pengarang Ma'rifat al-Shahabah.

° Al-Hafizh Ibn Abdil Barr, pengarang al-Isti'ab fi Asma' al-Ashhab.

° Al-Imam Ibn al-Atsir al-Jazari, pengarang Usd al-Ghabah fi Ma'rifat al-Shahabah.

° Al-Hafizh Ibn Hajar, pengarang al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah.

Para ulama yang menulis biografi para zahid dan kaum shufi, juga pengikut madzhab al-Asy'ari seperti:

° Al-Hafizh Abu Abdirrahman Muhammad bin al-Husain al-Sulami al-Shufi (325-412 H/937-1021 M), pengarang Thabaqat al-Shufiyyah.

° Al-Hafizh Abu Nu'aim, pengarang Hilyah al-Auliya' wa Thabaqat al-Ashfiya'.

° Al-Hafizh Ibn al-Jauzi al-Hanbali, pengarang Shifat al-Shafawah

° Al-Hafizh Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Ali al-Anshari al-Wadiyasyi, yang dikenal dengan Ibn al-Mulaqqin (723-804 H/1323-1401 M), pengarang Thabaqat al-Auliya'.

° Al-Imam Abu al-Mawahib Abdul Wahhab bin Ahmad al-Sya'rani (898-973 H/1493-1565 M), pengarang Lawaqih al-Anwar fi Thabaqat al-Akhyar dan al-Thabaqat al-Shughra.

° Al-Hafizh Abdurrauf al-Munawi, pengarang al-Kawakib al-Durriyyah fi Tarajim al-Sadah al-Shufiyyah dan Irgham Auliya' al-Syaithan bi-Dzikr Manaqib Auliya' al-Rahman.

Biografi para ulama dan tokoh yang bersifat umum, juga ditulis oleh para ulama yang mengikuti madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi. Diantara mereka adalah:

° Al-Imam al-Syaikh Abu Ishaq al-Syirazi, pengarang Thabaqat al-Fuqaha'.

° Al-Imam Abu al-Hasan Ali bin al-Hasan al-Bakharzi (w. 467 H/1075 M), pengarang Dumyat al-Qashr wa 'Ushrat Ahl al-'Ashr.

° Al-Imam al-Qadhi Syamsuddin Abu al-'Abbas Ahmad bin Muhammad, dikenal dengan Ibn Khallikan al-Barmaki (608-681 H/1211-1282 M), pengarang Wafayat al-A'yan wa Anba' Abna' al-Zaman.

° Al-Imam Shalahuddin Khalil bin Aibak al-Shafadi (696-764 H/1296-1363 M), pengarang al-Wafi fi al-Wafayat.

° Al-Imam Shalahuddin Muhammad bin Syakir al-Kutbi (w. 764 H/1363 M), pengarang Fawat al-Wafayat dan 'Uyun al-Tawarikh.

Penulisan biografi para ulama dan tokoh sesuai dengan abad mereka, juga ditulis oleh para ulama yang bermadzhab al-Asy'ari. Diantara mereka adalah:

° Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani, pengarang Inba' al-Ghamr bi-Abna' al-'Umr dan al-Durar al-Kaminah fi A'yan al-Miah al-Tsaminah [biografi ulama abad ke 8 H].

° Al-Hafizh al-Sakhawi, pengarang al-Dhaw'u al-Lami' li-Ahl al-Qarn al-Tasi' [biografi ulama abad ke 9 H].

° Al-Imam al-Sayyid Abdul Qadir bin Syaikh bin Abdullah al-'Aidarus (978-1038 H/1570-1628 M), pengarang al-Nur al-Safir 'an Akhbar al-Qarn al-'Asyir [biografi ulama abad ke 10 H].

° Al-Imam Najmuddin Abu al-Makarim Muhammad bin Muhammad al-Ghazzi al-Amiri (977-1061 H/1570-1651 M), pengarang al-Kawakib al-Sairah bi-A'yan al-Miah al-'Asyirah [biografi ulama abad ke 10 H].

° Al-Imam Muhammad Amin bin Fadhlullah al-Muhibbi (1061-1111 H/1651-1699 M), pengarang Khulashat al-Atsar fi A'yan al-Qarn al-Hadi 'Asyar [biografi ulama abad ke 11 H].

° Al-Imam al-Sayyid Abu al-Fadhl Muhammad Khalil bin Ali al-Muradi al-Husaini (1173-1206 H/1760-1791 M), pengarang Silk al-Durar fi A'yan al-Qarn al-Tsani 'Asyar [biografi ulama abad ke 12 H].

° Al-Syaikh Abdurrazzaq bin Ibrahim bin Hasan al-Baithar (1253-1335 H/1837-1916 M), pengarang Hilyat al-Basyar fi Tarikh al-Qarn al-Stalits 'Asyar [biografi ulama abad ke 13 H].

° Al-Syaikh Abu al-Khair Abdullah bin Mirdad (w. 1343 H/1924 M), pengarang Nasyr al-Nur wa al-Zahar fi Tarajim 'Ulama' Makkah wa Afadhiliha min al-Qarn al-'Asyir ila al-Qarn al-Rabi' 'Asyar [biografi ulama abad ke 10-14 H yang tinggal di Mekkah].

Penulisan biografi para ulama berdasarkan afiliasi (nisbat) dan geneologi (nasab) juga ditulis oleh para ulama yang bermadzhab al-Asy'ari. Diantara mereka adalah:

° Al-Hafizh Ibn al-Sam'ani, pengarang al-Ansab.

° Al-Hafizh Ibn al-Atsir al-Jazari, pengarang al-Lubab fi Tahdzib al-Ansab.

° Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, pengarang Lubb al-Lubab fi Tahrir al-Ansab.

h. Ilmu Gramatika dan Bahasa Arab

Dalam bidang gramatika Arab [ilmu nahwu dan sharaf], karya-karya terbaik yang menjadi materi kajian kaum pelajar dan intelektual dunia Islam, juga ditulis oleh para ulama yang bermadzhab al-Asy'ari. Menurut al-Ustadz Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitabnya al-Farq bayna al-Firaq, mayoritas pakar gramatika, bahasa dan sastra Arab pada masa salaf mengikuti madzhab Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Dari kalangan ulama Kufah misalnya seperti al-Mufadhdhal al-Dhabbi, Ibn al-A'rabi, al-Ruwwasi, al-Kisa'i, al-Farra', Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, Ali bin Mubarak al-Lahyani, Abu Amr al-Syaibani, Ibrahim al-Harbi, Tsa'lab, Ibn al-Anbari, Ibn Miqsam, Ahmad bin Faris dan lain-lain adalah pakar gramatika dari Kufah yang berhaluan Ahlussunnah Wal-Jama'ah.

Dari kalangan ulama Basrah, juga tampil misalnya seperti Abu al-Aswad al-Du'ali, Yahya bin Ya'mar, Isa bin Umar al-Tsaqafi, Abu Amr bin al-'Ala', al-Khalil bin Ahmad, Khalaf al-Ahmar, Yunus bin Habib, Sibawaih, al-Akhfasy, al-Ashma'i, Abu Zaid al-Anshari, al-Zajjaj, al-Mazini, al-Mubarrid, Ibn Duraid, al-Azhari dan lain-lain juga mengikuti haluan Ahlussunnah Wal-Jama'ah.

Pada abad pertengahan, para pakar gramatika yang populer dan karya-karya mereka menjadi materi kajian kaum pelajar dan intelektual dunia Islam, juga berhaluan Ahlussunnah Wal-Jama'ah dengan madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi. Diantara mereka adalah:

° Al-Imam Jamaluddin Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Malik al-Tha'i al-Jayyani al-Syafi'i, yang populer dengan Ibn Malik (600-672 H/1203-1274), pengarang kitab Alfiyah Ibn Malik, Tashil al-Fawaid dan lain-lain.

° Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Dawud al-Shanhaji, yang populer dengan Ibn Ajurrum (672-723 H/1273-123 M), pengarang kitab al-Muqaddimah al-Ajurrumiyyah yang sangat populer.

° Al-Imam Jamaluddin Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf bin Ahmad bin Abdullah bin Hisyam al-Anshari, yang populer dengan Ibn Hisyam (708-761 H/1309-1360 M) pengarang kitab Mughni al-Labib 'an Kutub al-A'arib, Qathr al-Nada wa Ball al-Shada, Syudzur al-Dzahab dan lain-lain.

° Al-Imam Qadhi al-Qudhat Bahauddin Abdullah bin Abdurrahman al-'Aqili al-Qurasyi, yang dikenal dengan Ibn 'Aqil (694-769 H/1294-1367 M), pengarang Syarh Ibn 'Aqil 'ala Alfiyah Ibn Malik.

° Al-Imam Syarafuddin Yahya bin Musa bin Ramadhan al-'Imrithi al-Syafi'i (w. 890 H/1485 M), pengarang kitab Nazhm al-Ajurrumiyyah.

° Al-Imam Zainuddin Khalid bin Abdullah al-Jurjawi al-Azhari (838-905 H/1434-1499 M), pengarang al-Muqaddimah al-Azhariyyah fi 'Ilm al-'Arabiyyah, Mushil al-Thullab ila Qawa'id al-I'rab, Syarh al-Ajurrumiyyah, al-Tashrih 'ala al-Taudhih dan lain-lain.

Dalam bidang bahasa Arab, karya-karya terbaik yang menjadi rujukan kaum pelajar dan intelektual adalah tulisan para madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi. Diantara mereka adalah:

° Al-Imam Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Andalusi al-Mursi, yang dikenal dengan Ibn Sidah (398-458 H/1007-1066 M) pengarang kitab al-Muhkam wa al-Muhith al-A'zham, al-Mukhashshish dan lain-lain.

° Al-Imam Majduddin Abu al-Sa'adat al-Mubarak bin Muhammad al-Jazari, yang dikenal dengan Ibn al-Atsir (544-606 H/1149-1210 M), pengarang al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar.

° Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakar al-Razi al-Hanafi (hidup tahun 666 H/1268 M), pengarang kitab Mukhtar al-Shihah.

° Al-Imam Jamaluddin Abu al-Fadhl Muhammad bin Mukarram al-Ifriqi, yang dikenal dengan Ibn Manzhur (630-711 H/1232-1311 M), pengarang Lisan al-'Arab.

° Al-Imam Abu al-'Abbas Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Fayyumi (w. setelah 770 H/1368 M), pengarang al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir.

° Al-Imam Majduddin Abu Thahir Muhammad al-Ya'qub al-Fairuzabadi al-Syirazi (729-817 H/1329-1414 M), pengarang al-Qamus al-Muhith.

° Al-Imam al-Hafizh Abu al-Faidh Muhammad bin Muhammad, yang dikenal dengan Sayid Murtadha al-Zabidi (1145-1205 H/1732-1791 M), pengarang Taj al-'Arus fi Syarh al-Qamus.

Demikianlah, dengan pengamatan sekilas terhadap berbagai literatur keilmuan dalam bidang hadits, tafsir, biografi, sejarah, sirah, ushul fiqih dan ilmu pengetahuan Islam yang lain, akan cukup memberikan kesimpulan kepada orang yang sadar serta tidak terbawa taklid dan fanatisme buta, bahwa para ulama madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi memiliki peranan terbesar dalam sejarah peradaban Islam. Dalam setiap bidang ilmu pengetahuan keislaman, para ulama madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi selalu menjadi pioner terdepan, baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Dalam hal ini, al-Ustadz Abu Manshur al-Baghdadi berkata dalam bukunya, al-Farq baina al-Firaq:

"Dari kalangan Khawarij, Rawafidh (Syi'ah), Jahmiyah, Qadariyah, [Mu'tazilah], Mujassimah, dan golongan-golongan sesat yang lain –alhamdulillah-, belum pernah ada seorang ulama terkemuka yang layak menjadi panutan dalam bidang fiqih, periwayatan hadits, ilmu bahasa dan gramatika. Di kalangan mereka belum pernah ada orang yang dapat dipercaya dalam mengutip maghazi, sirah dan sejarah. Belum pernah ada, imam dalam mau'izhah dan peringatan. Imam dalam bidang ta'wil dan tafsir. Para imam dalam semua bidang ilmu pengetahuan tersebut, baik secara spesifik maupun secara umum, adalah dari kalangan Ahlussunnah Wal-Jama'ah."[37]

4. Golongan Yang Mendapat Hidayah

Golongan yang selamat adalah golongan yang mendapat hidayah dari Allah SWT sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an berikut ini:

z`ƒÏ%©!$#ur (#rßyg»y_ $uZŠÏù öNåk¨]tƒÏöks]s9 $uZn=ç7ß 4 ¨bÎ)ur ©!$# yìyJs9 tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÏÒÈ

"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (QS. al-'Ankabut : 69).

Ayat di atas memberikan penegasan, bahwa orang yang berjihad untuk mencari keridhaan Allah, maka Allah akan memberikan hidayah dan petunjuk kepada mereka, dan Allah akan selalu memberikan pertolongan dan ma'unah kepada mereka di dunia serta pahala dan ampunan di akhirat. Jihad dalam agama adakalanya dengan cara menyampaikan hujjah dan argumentasi kebenaran kepada orang yang belum mengetahuinya atau mengingkarinya, dan adakalanya dengan mengorbankan jiwa dan raga di medan peperangan menghadapi musuh yang berbeda agama.

Berkaitan dengan jihad dengan mengorbankan jiwa dan raga menghadapi musuh yang berbeda agama, pengikut madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi berada di barisan terdepan. Sebelum abad pertengahan, daerah-daerah perbatasan (tsughur) dengan Romawi, Jazirah, Syam, Azerbaijan, Armenia dan Babul Abwab (Kaukasus) dijaga oleh kaum Muslimin ahli hadits[38] dan Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Sedangkan perbatasan Afrika, Andalusia, lautan Atlantik dan Yaman, juga dijaga oleh kaum Muslimin ahli hadits. Sedangkan perbatasan seberang Sungai Amudaria, yang menghadang Bangsa Turki dan Cina, terdiri dari dua golongan yaitu pengikut madzhab al-Syafi'i dan madzhab Hanafi. Sedangkan pengikut aliran-aliran sempalan seperti Syi'ah, Mu'tazilah, Khawarij dan lain-lain, tidak memiliki peran dalam jihad menghadang serangan musuh yang berbeda agama.[39]

Setelah abad pertengahan, jihad dalam penyebaran Islam di wilayah Eropa Timur dilakukan oleh kaum Muslimin yang bermadzhab Asy'ari dan Maturidi dibawah komando Dinasti Utsmaniyah di Turki. Penyebaran Islam di daerah-daerah Timur seperti Daratan India hingga Asia Tenggara yang meliputi Indonesia, dilakukan oleh para dai yang mengikuti madzhab al-Syafi'i dan al-Asy'ari. Sedangkan penyebaran Islam di daerah-daerah pedalaman Afrika, dilakukan oleh kaum shufi yang bermadzhab al-Asy'ari. Dengan demikian, berdasarkan ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa pengikut madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi adalah golongan yang mendapat hidayah, karena mereka yang melakukan jihad dalam rangka penyebaran Islam.

Hal tersebut berbeda dengan aliran-aliran selain Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Pada saat kaum Muslimin Ahlussunnah Wal-Jama'ah dibawah komando Dinasti Utsmaniyah di Turki, bahu membahu dalam menyebarkan Islam di daerah Eropa Timur hingga mencapai perbatasan Wina, pengikut Syi'ah Imamiyah di Iran, dibawah komando Dinasti Shafawi, justru membunuh lebih dari satu juta kaum Muslimin Ahlussunnah Wal-Jama'ah di daerah-daerah yang ditaklukkannya, hingga akhirnya memaksa Sultan Salim di Turki untuk memerangi mereka. Setelah Dinasti Shafawi menderita kekalahan menghadapi Dinasti Utsmani, Shafawi akhirnya berkoalisi dengan Negara Portugal -yang telah mengusir kaum Muslimin dari Andalusia-, dalam menghadapi Dinasti Utsmani.

Selanjutnya kejadian serupa juga terjadi pada gerakan Wahhabi yang lahir di Najd pada abad ke 12 Hijriah. Apabila kita membaca sejarah para penguasa yang beraliran Ahlussunnah Wal-Jama'ah, seperti Sultan Mahmud bin Zanki, Shalahuddin al-Ayyubi, Dinasti Muwahhidi, Amir Abdul Qadir al-Jazairi dan lain-lain yang mengikuti madzhab al-Asy'ari, perjalanan mereka dipenuhi dengan beragam peristiwa heroik mengagumkan dalam berjihad di jalan Allah menghadapi orang-orang Kristen. Hal ini akan berbeda apabila kita membaca sejarah lahirnya gerakan Wahhabi di Najd, yang diwarnai dengan pembantaian secara sadis terhadap kaum Muslimin pengikut madzhab Syafi'i, Maliki, Hanafi dan Hanbali di Najd, Mekkah, Madinah, Thaif dan lain-lain karena mereka telah dianggap kafir.[40] Pengkafiran gerakan Wahhabi terhadap seluruh kaum Muslimin pada saat itu dapat dibaca dalam pernyataan Muhammad bin Nashir al-Syatsri –ulama Wahhabi kontemporer-, dalam pengantar kitab 'Unwan al-Majd fi Tarikh Najd karya Ibn Basyar,

"Muhammad bin Abdul Wahhab tumbuh pada masa di mana bekas-bekas ajaran Muhammad telah terhapus, rambu-rambu Islam telah musnah, sehingga yang tegak hanya bendera syirik dan bid'ah."[41]

Pernyataan al-Syatsri yang sangat ekstrim tersebut menggambarkan bagaimana situasi Jazirah Arab dan sekitarnya pada saat lahirnya Muhammad bin Abdul Wahhab, telah terjerumus dalam lumpur kesyirikan dan bid'ah, sehingga darah dan harta benda mereka halal untuk dibantai dan dirampas. Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa gerakan Wahhabi yang mengkafirkan dan membantai kaum Muslimin, bukanlah gerakan yang mendapat hidayah dari Allah. Gerakan mereka persis dengan gerakan Khawarij pada awal berdirinya Islam, yang dikatakan dalam hadits shahih riwayat al-Bukhari melalui jalur Abu Sa'id al-Khudri, bahwa orang-orang Khawarij itu, "akan membantai orang-orang Islam, tetapi enggan memerangi orang-orang penyembah berhala."[42]

Keutamaan Madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi

Ada dalil-dalil agama dalam al-Qur'an dan hadits yang menjelaskan keutamaan madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi. Diantaranya adalah ayat berikut ini:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä `tB £s?ötƒ öNä3YÏB `tã ¾ÏmÏZƒÏŠ t$öq|¡sù ÎAù'tƒ ª!$# 5Qöqs)Î/ öNåk:Ïtä ÿ¼çmtRq6Ïtäur A'©!ÏŒr& n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# >o¨Ïãr& n?tã tûï͍Ïÿ»s3ø9$# šcrßÎg»pgä Îû È@Î6y «!$# Ÿwur tbqèù$sƒs sptBöqs9 5OͬIw 4 y7Ï9ºsŒ ã@ôÒsù «!$# ÏmŠÏ?÷sム`tB âä!$t±o 4 ª!$#ur ììźur íOŠÎ=tæ ÇÎÍÈ (المائدة : 54).

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang yang kafir, yang berjihad di jalan Allah, yang tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Ma'idah : 54).

Nabi J yang bertugas sebagai mubayyin (penjelas) al-Quran pernah memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan “kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya…”, dalam ayat di atas, adalah kaum Abu Musa Al-Asy’ari, berdasarkan hadits:

عَنْ عِيَاضْ اْلأَشْعَرِيِّ قَالَ : لَمَّا نَزَلَتْ (فَسَوْفَ يَأتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ ويحبونه...(المائدة : 54) قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J: هُمْ قَوْمُ هَذَا، وَأَشَارَ إِلَى أَبِيْ مُوْسَى اْلأَشْعَرِيِّ . (رواه الحاكم في المستدرك (3177).

“Dari Iyadh al-Asy'ari t, dia berkata: "Ketika ayat, "Allah akan mendatangkan satu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya", maka Rasulullah J bersabda sambil menunjuk kepada Abu Musa al-Asy'ari: "Mereka adalah kaumnya laki-laki ini."[43]

Pernyataan Nabi J, bahwa kaum Abu Musa al-Asy'ari adalah kaum yang dicintai Allah dan juga kaum yang mencintai Allah, dapat mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa pengikut madzhab al-Asy'ari adalah kaum yang dicintai Allah dan mereka pun juga mencintai-Nya. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa setiap terjadi penisbahan kata kaum kepada seorang nabi di dalam al-Qur'an, maka yang dimaksudkan adalah pengikut nabi tersebut. Dan sudah barang tentu, Abu al-Hasan al-Asy'ari dan pengikut madzhabnya termasuk kaum Abu Musa al-Asy'ari, sehingga secara tersirat masuk dalam konteks ayat di atas. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Jami' li-Ahkam al-Qur'an berikut ini:

قَالَ الْقُشَيْرِيُّ: فَأَتْبَاعُ أَبِي الْحَسَنِ مِنْ قَوْمِهِ، ِلأَنَّ كُلَّ مَوْضِعٍ أُضِيْفَ فِيْهِ قَوْمٌ إِلَى نَبِيٍّ أرِيْدَ بِهِ اْلاَتْبَاعُ. (القرطبي، الجامع لأحكام القرآن 6/220).

"Al-Qusyairi berkata: "Pengikut madzhab Abi al-Hasan al-Asy'ari termasuk kaum Abu Musa al-Asy'ari, karena setiap terjadi penisbahan kata kaum terhadap seorang nabi di dalam al-Qur'an, maka yang dimaksudkan adalah pengikutnya."[44]

Disamping ayat al-Qur'an di atas yang secara tersirat menjelaskan keutamaan madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi, Rasulullah J juga mengisyaratkan terhadap keutamaan pengikut madzhab al-Asy'ari dan madzhab al-Maturidi. Hal tersebut dapat dilihat dengan memperhatikan hadits shahih berikut ini:

عن بِشْرٍ الْخَثْعَمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ J يَقُولُ لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ فَلَنِعْمَ اْلأَمِيرُ أَمِيرُهَا وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ. (رواه أحمد (18189)، والطبراني في الكبير (1200) وأبو نعيم في معرفة الصحابة (1101) والحاكم في المستدرك (8413) وقال: صحيح الإسناد.

"Dari Bisyr al-Khats'ami t, bahwa dia mendengar Nabi J bersabda: "Kelak umatku akan benar-benar menaklukkan kota Konstantinopel. Sebaik-baik pemimpin, adalah pemimpin penaklukan itu dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan penakluk tersebut."[45]

Hadits ini secara tegas menjadi dasar bagi rekomendasi terhadap mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi. Karena secara faktual, Konstantinopel (yang kini menjadi Negara Turki) baru dapat ditaklukkan pada Selasa 20 Jumadal Ula 857 H/29 Mei 1453 M oleh Sultan Muhammad al-Fatih bin Sultan Murad Khan al-'Utsmani (835-886 H/1432-1481 M). Beliau bersama pasukannya, adalah pengikut setia Ahlussunnah Wal-Jama’ah, mazhab al-Asy’ari, mencintai kaum shufi, bertawasul dengan para nabi dan para wali, mengikuti thariqat shufi dengan pembimbing spiritual (mursyid thariqat) seorang ulama shufi terkemuka pada saat itu, yaitu Maulana al-Syaikh Aqa Syamsuddin. Mereka juga tekun merayakan maulid Nabi J, dan tradisi-tradisi shufi lainnya.



[1] Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (3981), al-Darimi (2/241) Ahmad (16329), al-Hakim (407), al-Ajuri dalam al-Syari'ah (18), Ibn Baththah dalam al-Ibanah (277), Ibn Abi 'Ashim dalam al-Sunnah (2), dan al-Lalika'i dalam Syarh Ushul I'tiqad Ahl al-Sunnah (1/23/1). Al-Hafizh Ibn Hajar menilai hadits ini hasan dalam Takhrij al-Kasysyaf (hal. 63).

[2] Al-Syathibi, al-I'tisham juz 2 hal. 253-255.

[3] Diantara ulama kontemporer yang menulis tentang al-firqah al-najiyah ialah Sayyid Muhammad Madhi Abu al-'Azaim dari Mesir dengan kitabnya al-Firqah al-Najiyah dan Abdullathif Mahmud al-Mahmud dari Bahrain dengan kitabnya al-Firqah al-Najiyah Hiya Firqah al-Muttaqin.

[4] Sebagian tokoh Syi'ah kontemporer, yaitu Ahmad al-Tijani al-Samawi menulis bukunya yang berjudul, al-Syi'ah Hum Ahl al-Sunnah (Syiah adalah Ahlussunnah). Pernyataan al-Tijani tersebut tidak dapat dikatakan mewakili aliran Syi'ah, karena bertentangan dengan tokoh-tokoh Syi'ah sebelumnya.

[5] Abdullathif al-Mahmud, al-Firqah al-Najiyah hal. 20.

[6] Al-Imam Abu al-Muzhaffar al-Asfarayini, al-Tabshir fi al-Din hal. 185-186.

[7] HR. al-Tirmidzi (2167), Ibn Abi Ashim dalam al-Sunnah (80), al-Hakim (juz 1 hal. 115-116), dan lain-lain. Hadits tersebut shahih berdasarkan sekian banyak jalur dan syahid-nya.

[8] Abu al-Muzhaffar al-Asfarayini, al-Tabshir fi al-Din hal. 186.

[9] KH. Hasyim Asy'ari, Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah hal. 9.

[10] Lihat Muwafaqah Sharih al-Ma'qul juz 2 hal. 75, juz 1 hal. 245 dan 64; Minhaj al-Sunnah juz 1 hal. 224, 83 dan 109; Naqd Maratib al-Ijma' hal. 168; Syarh Hadits 'Imran bin Hushain hal. 193; Majmu' al-Fatawa juz 18 hal. 239; dan Syarh Hadits al-Nuzul hal. 161.

[11] Al-Hafizh Ibn Hajar, Fath al-Bari juz 12 hal. 202.

[12] Ibn al-Qayyim, Hadi al-Arwah hal. 579 dan 582 dan diakui oleh al-Albani dalam pengantar Raf'u al-Astar bi-Ibthal al-Qailin bi-Fana' al-Nar karya al-Shan'ani.

[13] Abdullah al-Harari, al-Maqalat al-Sunniyyah hal. 52 dan seterusnya.

[14] Al-Buthi, al-Salafiyyah Marhalah Zamaniyyah Mubarakah hal. 234.

[15] Usamah al-Sayyid, al-Qaradhawi fi al-'Ara' hal. 47-50.

[16] Al-Kasymiri, Ikfar al-Mulhidin hal. 44.

[17] Untuk mengetahui penyimpangan tokoh-tokoh Wahhabi kontemporer seperti Ibn Baz, al-'Utsaimin, al-Albani dan lain-lain dapat dibaca dalam buku yang ditulis oleh Tim LBM PCNU Jember, "Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik", terbitan Khalista Surabaya.

[18] KH. Hasyim Asy'ari, Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah hal. 9.

[19] Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi, al-Farq bayna al-Firaq hal. 282, dan lihat pula, al-Asfarayini, al-Tabshir fi al-Din, hal. 186.

[20] Lihat di beberapa situs internet seperti www.azahera.net, http://al7ewar.net/forum, http://vb.alaqsasalafi.com/ forumdisplay.php?f =11 dan lain-lain.

[21] Ibn Taimiyah, al-Istiqamah juz 1 hal. 42.

[22] Syaikh Abdullah al-Harari, Izhhar al-'Aqidah al-Sunniyyah bi-Syarh al-'Aqidah al-Thahawiyyah hal. 14-15.

[23] Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Majah (3950), Abd bin Humaid dalam al-Musnad (1220), al-Thabarani dalam Musnad al-Syamiyyin (2069), al-Lalika'i dalam Syarh Ushul I'tiqad Ahl al-Sunnah (153) dan Abu Nu'aim dalam Hilyat al-Auliya' (9/238). Al-Hafizh al-Suyuthi menilai hadits ini shahih dalam al-Jami' al-Shaghir (1/88). Demikian pula Syaikh Syu'aib al-Arna'uth juga menilai hadits tersebut kuat dan dapat dijadikan hujjah berdasarkan syawahid-nya dalam tahqiq Siyar A'lam al-Nubala' (12/196-197).

[24] HR. al-Tirmidzi (2582), Ahmad (12871) dan al-Hakim (juz 1 hal. 88), yang menilainya shahih sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim. Al-Hafizh Ibn Hajar berkata, "Hadits ini bernilai hasan."

[25] Al-Imam Ali al-Qari al-Harawi, Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih juz 1 hal. 442.

[26] Al-Munawi, Faidh al-Qadir Syarh al-Jami' al-Shaghir juz 2 hal. 546 dan Ali al-Qari, Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih juz 1 hal. 383.s

[27] Al-Syathibi, al-I'tisham juz 3 hal. 312-314.

[28] Abdurrahman al-Mahmud, Mauqif Ibn Taimiyah min al-Asya'irah hal. 502. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Safar al-Hawali –ulama Wahhabi juga-, dalam bukunya Naqd Manhaj al-Asya'irah fi al-'Aqidah hal. 7.

[29] Muhammad Adil Azizah al-Kayyali, al-Firqah al-Najiyah Hiya al-Ummah al-Islamiyyah Kulluha, hal. 88-89.

[30] Hadits ini diriwayatkan oleh al-Tirmidzi (2565) dan ia mengatakan: "Hadits ini hasan dan gharib."

[31] Al-Hafizh al-Zabidi, Ithaf al-Sadah al-Muttaqin juz 2 hal. 7.

[32] Al-Baghdadi, al-Farq bayna al-Firaq hal. 244-247.

[33] KH. Hasyim Asy'ari, Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah hal. 23.

[34] Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn 'Adi dalam al-Kamil (1/118), al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra (10/209), Ibn Baththah dalam al-Ibanah (34), Abu Nu'aim dalam Ma'rifat al-Shahabah (694), Ibn Asakir dalam Tarikh Dimasyq (7/38-39) dan lain-lain. Al-Khathib berkata: "Al-Imam Ahmad ketika ditanya mengenai hadits ini, beliau menjawab: "Hadits ini shahih dan aku mendengarnya dari lebih seorang perawi."

[35] Ibn Rusyd, al-Fatawa, juz 2 hal. 802.

[36] Dalam bidang ideologi, Ibn Katsir mengikuti madzhab al-Asy'ari, sebagaimana diakuinya sendiri. Disamping itu, dia juga memangku jabatan sebagai guru besar hadits di akademi Dar al-Hadits al-Asyrafiyah, sedangkan orang yang mewakafkan akademi tersebut mensyaratkan bahwa yang mengajar di sana harus mengikuti madzhab al-Asy'ari. Lihat Ibn Hajar, al-Durar al-Kaminah juz 1 hal. 58 dan al-Na'imi, al-Daris fi Tarikh al-Madaris juz 2 hal. 89.

[37] Al-Baghdadi, al-Farq baina al-Firaq, hal. 247.

[38] Ahli hadits adalah istilah lain dari pengikut fiqih madzhab al-Syafi'i dan akidah al-Imam al-Asy'ari.

[39] Al-Baghdadi, Ushul al-Din hal. 317 dan al-Asfarayini, al-Tabshir fi al-Din hal. 181.

[40] Kisah-kisah pembantaian kaum Wahhabi terhadap kaum Muslimin di Jazirah Arab dapat dibaca dalam kitab Tarikh Najd, karya Ibn Ghannam, dan kitab Unwan al-Majd fi Tarikh Najd karya Utsman bin Basyar.

[41] Lihat pengantar Muhammad bin Nashir al-Syatsri dalam pengantar 'Unwan al-Majd fi Tarikh Najd, edisi Dar al-Habib, Riyadh.

[42] Hadits Shahih al-Bukhari, no. 3095.

[43] Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (8413), dan dinilainya shahih sesuai persyaratan Muslim serta disetujui oleh al-Dzahabi.

[44] Al-Imam al-Qurthubi, al-Jami' li-Ahkam al-Qur'an, (6/220).

[45] Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (18189), al-Thabarani dalam al-Mu'jam al-Kabir (1200), Abu Nu'aim dalam Ma'rifat al-Shahabah (1101) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak yang juga menilainya shahih. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma' al-Zawa'id (6/219): "Para perawi hadits ini dapat dipercaya".

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | free samples without surveys