Selamat Datang di Web:

IKATAN PELAJAR NAHDLATUL ULAMA
IKATAN PELAJAR PUTRI NAHDLATUL ULAMA
BULULAWANG-MALANG-JAWA TIMUR

Saturday, 29 December 2012

KH. Ridwan Abdullah, Pencipta Lambang NU

Di antara ulama pondok pesantren, ada seorang ulama yang memiliki keahlian melukis. Beliau adalah KH Ridhwan Abdullah. banyak jasa beliau di bumi Indonesia terutama di kalangan Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Dalam kancah ulama NU, beliau dikenal sebagai pencipta lambang NU.
KH Ridwan Abdullah dilahirkan di Bubutan Surabaya pada tanggal 1 januari 1884. Ayah beliau adalah KH Abdullah. Sesudah tamat dari Sekolah Dasar Belanda, KH Ridwan Abdullah belajar (nyantri) di beberapa pondok pesantren di Jawa dan Madura. Di antaranya pondok pesantren Buntet Cirebon, pondok pesantren Siwalan Panji Buduran Sidoarjo dan pondok pesantren Kademangan Bangkalan Madura.
Pada tahun 1901, KH Ridwan Abdullah pergi ke tanah suci Mekah dan bermukim di sana selama kurang lebih tiga tahun kemudian pulang ke tanah air. Pada tahun 1911 beliau kembali lagi ke Mekah dan bermukim di sana selama 1 tahun.
KH Ridwan Abdullah menikah dengan Makiyah yang meninggal dunia pada tahun 1910. Kemudian beliau menikah lagi dengan Siti Aisyah gadis asal Bangil yang masih ada hubungan keluarga dengan Nyai KH. Abdul Wahab Hasbullah.
KH Ridwan Abdullah dikenal sebagai kiai yang dermawan. Setiap anak yang berangkat mondok dan sowan ke rumah beliau, selain diberi nasihat juga diberi uang, padahal beliau sendiri tidak tergolong orang kaya.
Di kalangan ulama pondok pesantren, KH Ridwan Abdullah dikenal sebagai ulama yang memiliki ilmu pengetahuan agama dan pengalaman yang luas. Pergaulan beliau sangat luas dan tidak hanya terbatas di kalangan pondok pesantren.
Di samping itu, beliau dikenal sebagai ulama yang memiliki keahlian khusus di bidang seni lukis dan seni kaligrafi. Salah satu karya beliau adalah bangunan Masjid Kemayoran Surabaya. Masjid dengan pola arsitektur yang khas ini adalah hasil rancangan KH Ridwan Abdullah.
KH Ridwan Abdullah meninggal dunia tahun 1962, dan dimakamkan di pemakaman Tembok, Surabaya. Bakat dan keahlian beliau dalam melukis diwarisi oleh seorang puteranya, KH Mujib Ridwan.
Perjuangan KH Ridwan Abdullah
KH Ridwan Abdullah tidak memiliki pondok pesantren. Tetapi beliau dikenal sebagai guru agama muballigh yang tidak kenal lelah. Beliau diberi gelar ‘Kiai Keliling’. Maksudnya kiai yang menjalankan kewajiban mengajar dan berdakwah dengan keliling dari satu tempat ke tempat yang lainnya.
Biasanya, KH Ridwan Abdullah mengajar dan berdakwah pada malam hari. Tempatnya berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung lainnya dan dari satu surau ke surau yang lain. Daerah-daerah yang secara rutin menjadi tempat beliau mengajar adalah kampung Kawatan, Tembok dan Sawahan.
Ketika KH Abdul Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Wathan, KH Ridwan Abdullah merupakan pendamping utamanya. Beliaulah yang berhasil menghubungi KH Mas Alwi untuk menduduki jabatan sebagai kepala Madrsaah Nahdlatul Wathan menggantikan KH Mas Mansur. Beliau juga aktif mengajar di madrasah tersebut.
Dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia KH Ridwan Abdullah ikut bergabung dalam barisan Sabilillah. Pengorbanan KH Ridwan Abdullah tidak sedikit, seorang puteranya yang menjadi tentara PETA (Pembela Tanah Air) gugur di medan perang. Pada tahun 1948, beliau ikut berperang mempertahankan kemerdekaan RI dan pasukannya terpukul mundur sampai ke Jombang.
Banyak jasa perjuangan KH Ridwan Abdullah, di antaranya beliaulah yang mengusulkan agar para syuhada yang gugur dalam pertempuran 10 Nopember 1945 dimakamkan di depan Taman Hiburan Rakyat (THR). Tempat inilah yang kemudian dikenal dengan Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa.
Jasa KH Ridwan Abdullah
Nama KH Ridwan Abdullah tidak bisa dipisahkan dari sejarah pertumbuhan dan perkembangan Jamiyah Nahdlatul Ulama. Pada susunan pengurus NU periode pertama, KH Ridwan Abdullah masuk menjadi anggota A’wan Syuriyah. Selain menjadi anggota Pengurus Besar NU, beliau juga masih dalam pengurus Syuriyah NU Cabang Surabaya.
Pada tanggal 12 Rabiul Tsani 1346 H. bertepatan dengan tanggal 9 Oktober 1927 diselenggarakan Muktamar NU ke-2 di Surabaya. Muktamar berlangsung di Hotel Peneleh. Pada saat itu peserta muktamar dan seluruh warga Surabaya tertegun melihat lambang Nahdlatul Ulama yang dipasang tepat pada pintu gerbang Hotel Peneleh. Lambang itu masih asing karena baru pertama kali ditampilkan. Penciptanya adalah KH Ridwan Abdullah.
Untuk mengetahui arti lambang NU, dalam Muktamar NU ke-2 itu diadakan majelis khusus, pimpinan sidang adalah Kiai Raden Adnan dari Solo. Dalam majelis ini, pimpinan sidang meminta KH Ridwan Abdullah menjelaskan arti lambang Nahdlatul Ulama.
Secara rinci KH Ridwan Abdullah menjelaskan semua isi yang terdapat dalam lambang NU itu. Beliau menjelaskan bahwa lambang tali adalah lambang agama. Tali yang melingkari bumi melambangkan ukhuwah islamiyah kaum muslimin seluruh dunia. Untaian tali yang berjumlah 99 melambangkan Asmaul Husna. Bintang besar yang berada di tengah bagian atas melambangkan Nabi Besar Muhammad Saw. Empat bintang kecil samping kiri dan kanan melambangkan Khulafa’ur Rasyidin, dan empat bintang di bagian bawah melambangkan madzhabul arbaah (empat madzhab). Sedangkan jumlah semua bintang yang berjumlah sembilan melambangkan Wali Songo.
Setelah mendengarkan penjelasan KH Ridwan Abdullah, seluruh peserta majelis khusus sepakat menerima lambang itu. Kemudian Muktamar ke-2 Nahdlatul Ulamamemutuskannya sebagai lambang Nahdlatul Ulama. Dengan demikian secara resmi lambang yang dibuat oleh KH Ridwan Abdullah menjadi lambang NU.
Sesudah upacara penutupan Muktamar, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asyari memanggil KH Ridwan Abdullah dan menanyakan asal mula pembuatan lambang NU yang diciptakannya. KH Ridwan Abdullah menyebutkan bahwa yang memberi tugas beliau adalah KH Abdul Wahab Hasbullah. Pembuatan gambar itu memakan waktu satu setengah bulan.
KH Ridwan Abdullah juga menjelaskan bahwa sebelum menggambar lambang NU, terlebih dahulu dilakukan shalat istikharah, meminta petunjuk kepada Allah Swt. Hasilnya, beliau bermimpi melihat sebuah gambar di langit yang biru jernih. Bentuknya persis dengan gambar lambang NU yang kita lihat sekarang.
Setelah mendengar penjelasan KH Ridwan Abdullah, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asyari merasa puas. Kemudian beliau mengangkat kedua tangan sambil berdoa. Setelah memanjatkan doa beliau berkata,Mudahmudahan Allah mengabulkan harapan yang dimaksud di lambang Nahdatul Ulama.

NU debat dengan HTI

Membangun Kesalehan Individual, Atau Perbaikan Sistem Pemerintahan?

Pagi itu, Ahad tanggal 12 April 2009, jam dinding menunjukkan pukul 9.00. Suasana di Pondok Pesantren Syaikhona Kholil, Demangan Bangkalan sangat cerah. Tampak para santri mengerjakan aktifitasnya masing-masing, ada yang masuk sekolah dan ada yang berjalan ke sana ke mari. Sementara di ruangan Aula Pertemuan, sekitar 250 santri senior dan Mahasiswa STIT Syaikhona Kholil, telah menunggu acara yang akan segera digelar. Yaitu dialog terbuka antara Ustadz Muhammad Idrus Ramli, Sekretaris LBM NU Jember, dengan Ustadz Hisyam Hidayat, Ketua Pengurus HTI Jawa Timur yang tinggal di Ketintang Surabaya.
Jam menunjukkan pukul 9.00, Ustadz Hisyam Hidayat telah hadir bersama rombongan yang terdiri dari para tokoh dan aktivis HTI sekitar 15 orang. Sekitar 10 menit kemudian, Ustadz Idrus Ramli, yang masih alumni PP. Sidogiri Pasuruan ini datang menyusul dengan tanpa membawa teman. Segera Ustadz Idrus Ramli memasuki kantor Aula di lantai dua dan berjabatan tangan dengan Hisyam Hidayat dan rekan-rekannya.
15 menit kemudian, semuanya turun ke lantai dasar menuju ruangan Aula Pertemuan, pertanda acara yang digelar oleh M3 (Majlis Musyawarah Ma’hadiyah) PP. Syaikhona Kholil ini akan segera dimulai. Sambutan demi sambutanpun dimulai, pertama oleh Ketua Umum PP. Syaikhona Kholil, yaitu KH.R. Muhammad Nasih Aschol dan dilanjutkan oleh sambutan panitia, Ustadz Mardi. Setelah itu dilanjutkan dengan acara inti, dialog terbuka, antara Idrus Ramli dan Hisyam Hidayat, dengan dipandu oleh moderator, Ustadz Mauridi, yang masih pengurus Lajnah Falakiyah PWNU Jawa Timur.
Acara yang sebenarnya membawa tema, “KEMAJUAN DAN DEGRADASI ISLAM DARI MASA KE MASA” itu ternyata berjalan agak panas menjadi ajang perdebatan dan saling serang antara dua tokoh muda Islam tersebut. Sejak awal, sang moderator memang telah menggiring pembicaraan kedua nara sumber tersebut untuk memasuki ranah pemikiran dan ideologi yang menjadi perselisihan antara NU dan HTI.
Sesi pertama, moderator memberikan waktu kepada Hisyam Hidayat untuk memaparkan konsep kemajuan dan kemunduran Islam. Hisyam yang dibekali dengan laptop dan program power point tersebut menawarkan konsep yang sangat jitu dalam memajukan Islam, yaitu membangun kesadaran masyarakat tentang perlunya perbaikan system pemerintahan Islam dengan menegakkan khilafah dan penerapan syariat yang memang hal itu menjadi kewajiban umat Islam.
Pada bagian berikutnya, Ustadz Idrus Ramli memaparkan konsepnya tentang visi dan misi perjuangan para ulama dan kiai. Selama ini gerakan para ulama dan kiai bukan melalui jalur politik, dengan slogan dan misi perbaikan system pemerintahan, tegaknya khilafah dan penerapat syariat. Akan tetapi mereka bergerak dalam jalur dakwah dan pendidikan kemasyarakatan dengan mengajar mereka menunaikan shalat, zakat, puasa dan kewajiban-kewajiban agama yang lainnya dengan sebaik-baiknya. Hal tersebut berangkat dari keyakinan para kiai bahwa, apabila masyarakat telah menjalankan ajaran agamanya dengan benar dan sempurna, maka dengan sendirinya akan terbangun kesalehan individual yang pada akhirnya akan membawa pada kesalehan social. Ketika kesalehan individual telah tercapai, maka dengan sendirinya masyarakat akan menerapkan syariat Islam dengan sempurna. Bukankah dalam al-Qur’an Allah telah berfirman, “Sesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari perbuatan keji dan kemungkaran.”
Berkaitan dengan system pemerintahan yang ada di dunia Islam dewasa ini, Idrus Ramli berpendapat, bahwa berdirinya pemerintahan dan penguasa yang sewenang-wenang dan keluar dari jalur syariat Islam, itu tidak terlepas dari kondisi rakyat yang memang jauh dari nilai-nilai agama. Dalam hal ini Allah berfirman, “Demikianlah kami jadikan sebagian orang yang zalim sebagai pemimpin bagi sebagian yang lain akibat perbuatan mereka.” Berdasarkan ayat ini, berdirinya pemerintahan dan penguasa yang zalim itu sebagai akibat dari kezaliman masyarakat itu sendiri baik secara individual maupun social. Apabila mereka menginginkan pemerintahan yang tidak zalim dan bertindak sesuai dengan aturan syariat, maka rakyat harus bertobat kepada Allah dari perbuatan mereka yang zalim. Ketika suatu masyarakat menjalankan perintah agama dengan paripurna, maka Allah akan memberi mereka seorang pemimpin sekaliber Sayidina Abu Bakar dan Umar.
Dan demikian pula sebaliknya, pada sesi berikutnya, moderator memberikan waktu kepada Hisyam Hidayat untuk menanggapi pernyataan Idrus Ramli. Dalam kesempatan tersebut, Hisyam tidak menyia-nyiakan waktunya untuk mengarahkan kritik terhadap pandangan Idrus Ramli. Menurut Hisyam, selama ini kelompok yang anti HTI banyak yang berdalil dengan sejarah. Padahal dalil dalam agama itu al-Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas. Hisyam juga mengkritik pernyataan Idrus Ramli dalam beberapa majalah seperti Majalah Ijtihad Sidogiri beberapa waktu yang lalu, yang mengkritik HT tanpa memiliki sanad. Padahal menurut Abdullah bin al-Mubarak, salah satu ulama salaf, sanad itu termasuk bagian dari agama. Hisyam juga mengkritik Idrus yang tidak bersemangat memperjuangkan khilafah, padahal al-Imam al-Nawawi sendiri dalam beberapa kitabnya menyatakan wajibnya menegakkan khilafah berdasarkan kesepakatan para ulama.
Namuan kritikan-kritikan Hisyam tersebut berhasil dipatahkan dengan cukup baik oleh Idrus Ramli, dan bahkan dijadikan serangan balik yang mematikan terhadap HT. Menurut Idrus Ramli, sejarah memang bukan dalil dalam agama. Tapi bagaimanapun sejarah harus dijadikan pelajaran bagi kita dalam melangkah. Bukankah Nabi SAW telah bersabda, “Janganlah seorang Mukmin terperosok ke dalam jurang yang sama sampai dua kali.” Menurut Idrus Ramli, dalam catatan sejarah, kelompok-kelompok revivalis yang membawa misi perbaikan system pemerintahan sejak awal Islam selalu memiliki akidah yang menyimpang dari mainstream Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Pada masa Sayidina Utsman, kelompok Khawarij melakukan demonstrasi dan akhirnya membunuh Sayidina Utsman dengan kedok misi perbaikan system pemerintahan. Tetapi ternyata mereka membawa akidah yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Demikian pula pada masa-masa selanjutnya, kelompok-kelompok yang membawa misi serupa selalu dilatarbelakangi akidah yang menyimpang. Tidak terkecuali Hizbut Tahrir dewasa ini, yang dalam dalam bagian awal kitab al-Syakhshiyyat al-Islamiyyah, karya Taqiyuddin al-Nabhani, pendiri HT, banyak yang menyimpang dari ajaran Islam.
Terkait dengan pernyataan Hisyam, bahwa beberapa kritikan Idrus dalam Majalah Ijtihad Sidogiri, yang tidak memiliki sanad, Idrus menjawab, bahwa sanad dalam kritikan tersebut adalah beberapa guru Idrus dari Lebanon yang bertetangga dengan al-Nabhani, pendiri HT. disamping kitab-kitab al-Nabhani sendiri yang memang terang-terangan banyak yang menyimpang dari mainstream Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Justru yang perlu dipertanyakan sanadnya adalah pandangan-pandangan al-Nabhani sendiri dalam al-Syakhshiyyat al-Islamiyyah dan lain-lain yang menyimpang tersebut. Seperti pernyataan al-Nabhani bahwa konsep qadha’ dan qadar Ahlussunnah Wal-Jama’ah diadopsi dari para filosof Yunani.
Menurut Idrus, pernyataan al-Nabhani tersebut sama-sekali tidak benar dan sangat dibuat-buat. Karena para ulama yang menulis kitab-kitab akidah mereka seperti al-Imam al-Baihaqi dalam kitab al-I’tiqad, ketika menguraikan masalah qadha’ dan qadar justru dasarnya dari al-Qur’an dan hadits semua. Para ulama tidak pernah menjelaskan konsep qadha’ dan qadar dengan mengutip pernyataan Aristoteles, Plato dan lain-lain dari para filosof Yunani. “Jadi, pernyataan al-Nabhani bohong belaka dan tidak punya sanad”, demikian kata Idrus dengan nada tinggi.
Sedangkan pernyataan Hisyam yang mengutip pernyataan al-Imam al-Nawawi dalam kitab Raudhat al-Thalibin, tentang wajibnya menegakkan khilafah, menurut Idrus itu kalau kaum Muslimin memang mampu melakukannya. “Sekarang kaum Muslimin tidak mampu melakukannya, sehingga dengan sendirinya kewajiban tersebut gugur bagi mereka”, demikian menurut alumni Sidogiri tersebut. Menurut Idrus, orang-orang HTI banyak yang tidak memahami maksud para ulama dalam bab khilafah, bahwa hal tersebut sebenarnya diletakkan dalam kerangka yang idealistik. Kalau kriteria khalifah yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih terpaksa kita terapkan sekarang, toh kaum Muslimin tetap tidak mungkin dapat melakukannya. Karena persyaratan khalifah itu harus seorang laki-laki Muslim, yang adil dan mujtahid dalam bidang hukum-hukum agama. “Dan ini sekarang tidak ada, meskipun di Negara-negara Arab sendiri,” demikian katanya.
Dalam acara tersebut, Ustadz Idrus Ramli juga memberikan masukan terhadap Ustadz Hisyam Hidayat terkait dengan buletin mingguan Al-Islam, yang diterbitkan oleh HT. Dalam buletin tersebut, HT selalu mengkait-kaitkan penyelesaian problem yang dihadapi umat Islam dengan khilafah. Menurut Idrus, hal tersebut sangat tidak mendidik terhadap masyarakat. “Bagi orang yang melek sejarah, hal tersebut akan disalahkan. Karena khilafah dapat menjadi solusi bagi segala problem itu ketika khalifahnya rasyid (mengikuti petunjuk-petunjuk agama) dan adil seperti Khulafaur Rayisidin. Akan tetapi ketika yang menjadi khalifah tidak rasyid seperti Yazid bin Muawiyah, dan gubernurnya seperti al-Hajjaj bin Yusuf, yang terjadi bukan menyelesaikan problem. Justru rakyatnya sendiri yang dibunuh.”
Acara seminar tahunan yang digelas oleh M3 (Majlis Musyawarah Ma’hadiyah) PP. Syaikhona Kholil Demangan Bangkalan, tersebut ternyata menjadi ajang perdebatan antara kedua nara sumber. Suasana panas, tepuk tangan dan suara huuuh…. dari para hadirin ketika jawaban atau serangan dikemukakan oleh salah seorang pembicara mewarnai acara seminar tersebut. Meskipun sebagian besar sanggahan-sanggahan Hisyam Hidayat berhasil dijawab dengan cukup bagus oleh Idrus Ramli dan bahkan dijadikan sanggahan balik yang mematikan terhadap Hisyam. Sementara sanggahan-sanggahan Idrus Ramli, tidak mampu direspon oleh Hisyam Hidayat. Menurut KH. Ali Ghafir, salah satu dosen STIT Syaikhona Kholil, yang menyaksikan acara seminar tersebut, “Perjalanan dialog sangat tidak seimbang. Karena semua sanggahan Hisyam Hidayat berhasil dijawab dengan baik oleh Ustadz Idrus Ramli dan bahkan dijadikan serangan balik yang cukup mematikan. Sementara sanggahan-sanggahan Ustadz Idrus, tidak mampu dijawab dengan baik.” Acara dialog dihentikan setelah waktu menunjukkan pukul 13.45 menit.

Sumber::  http://www.sarkub.com/2012/membangun-kesalehan-individual-atau-perbaikan-sistem-pemerintahan/#axzz2GGMaaRt5

Saturday, 15 December 2012

SAY V


IPNU-IPPNU OPTIMIS MENJADI MANUSIA YANG SUKSES DENGAN MENYANTUNI ANAK YATIM.

IPNU-IPPNU ranting bakalan kecamatan bululawang kab. Malang yaqin akan mengapai masa depan dengan mudah dan gemilang dengan doa para anak-anak yatim, hal ini yang menjadi alasan untuk selalu mengadakan Santunan Anak Yatim pada tiap tahun pada bulan Muharram tepatnya Yaummu Asyuri ( hari ke 10 dari bulan muharam), suatu moment yang indah dimana pembubaran Panitia Sntunan Anak Yatim V ini di tutup dengan pemberian santunan kepada anak yatim dari Keluarga Besar Mahasiswa Bidik Misi (KBMB) UIN Maulana Malik Ibrahim Malang melalui Yayasan Sosial Tali Hati Indonesia.

Santunan Anak Yatim (SAY) V yang dilaksnakan pada 24 November 2012 sungguh anugrah Allah SWT, karena acara SAY V kali ini dihadiri Majlis Maulid wa Taklim IPNU-IPPNU PAC Bululawang dan pengajian umum, dan Laporan Pertanggung jawaban dan pembubarannya pada 14 Desember 2012 bertepatan di Balai desa Bakalan ini tidak disangka dihadiri Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim dan YS Tali hati. Hal ini murapakan reziki dari Allah yg tidak disangka-sangka untuk anak yatim dan dukungan luar biasa untuk IPNU-IPPNU Ranting Bakalan.

Pemberian santunan KBMB UIN Maulana Malik Ibrahim ini merupakan rangkaian awal DIES NATALIS II KMBM ini, serta memberikan motivasi pendidikan kepada adik-adik Yatim/Piatu  di desa Bakalan ini. Pendidikan Tinggi itu sangatlah penting untuk kehidupan masa datang, untuk itu semangat dan belajar yang giat dapat mencapai kesana dengan tanpa biaya karena mendapat beasiswa. Sambutan Haris wakil mahasiswa dalam acara tersebut.
Anak-anak yatim yang mendapatkan santunan tersebut terkumpul pada naungan YS Tali Hati Indonesia yang berada di desa tersebut. Karena Yayasan Sosial tersebut bergerak di bidang motivasi pendidikan maka kehadiran Mahasiswa UIN Maulana malik Ibrahim adalah moment yang luar biasa bagi anak-anak yatim. Yayasan ini dibentuk dan dilahirkan dari para pembina dan alumni-alumni IPNU-IPPNU untuk memperhatikan setiap hari anak-anak yatim khususnya di dunia pendidikan.
Pemberian santunan dari KBMB kepada YS Tali Hati Indonesia dilanjutkan ramah tamah dengan berkumpul makan bersama yang mulia anak-anak yatim yang saat itu hadir. Anaak-anak yatim merupakan tanggung jawab kita semua karena barang siapa yang melantarkan anak yatim adalah para pendusta, sambutan wakil kepala Desa dalam penutupan acara tersebut.



Saturday, 8 December 2012

Meluruskan pemahaman Maulid Nabi SAW


Judul Buku: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw
Penulis: K.H. M. Syarwani Abdan
Editor: Noviana Herlianti
Penerbit : Muara Progresif Suarabya
Cetakan : Pertama 2012
Tebal: vi + 66 Halaman
Peresensi : Masduri*)
   
Seringkali peringatan maulid Nabi Muammad Saw masih dianggap bi’ah yang menyesatkan. Dengan alasan pemurnian tauhid, sebagian kelompok  Islam menolak mentah-mentah peringatan maulid Nabi, tanpa melihat sisi lain yang mesti tidak boleh diabaikan. Sebab hukum dalam Islam mesti melihat konteks dan manfaat bagi pelakuknya. Sehingga tidak serampangan dan tergesa-gesa dalam memutusakan suatu hukum dalam Islam.

Orang yang berpandangan bahwa peringatan maulid Nabi tidak boleh dilaksanakan karena takut terjerumus kepada lembah kemusyrikan, bagi saya hanya bentuk pesimisme yang berlebihan, sebab peringatan maulid Nabi hanya sebatas bentuk penghormatan dan ungkapan rasa syukur umat Islam atas kelahiran Nabi Muhammad Saw. Berkat kelahiran beliau kita mengenal Islam dan Iman. Sehingga kehidupan manusia menjadi beradab dan berperikemanusian.

Nabi sendiri juga mengagungkan hari kelahirannya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt. Ungkapan syukur nabi diwujudkan dalam bentuk puasa hari tiap Senin. Hal ini secara implisit megegaskan bahwa Nabi juga merayakan hari kelahirannya, hanya saja dalam bentuk yang berbeda dengan perayaan maulid Nabi yang sekarang biasa kita lakukan, namun maksud dan tujuannya sama.

Wajar bilamana umat Islam juga melaksanakan peringatan maulid Nabi, karena bentuk penghormatan dan ungkapan rasa syukur atas kelahiran Nabi merupakan hal penting, agar sosok beliau senatiasa menjadi panutan yang mesti diikuti. Bukankah Allah Swt telah menegaskan dalam Al-Quran bahwa pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik (baca: QS. Al-Ahzab: 21).

Melalui peringatan maulid kita mencoba seolah-olah menghadirkan Nabi Muahmmad sebagai upaya agar kita dapat mencontoh beliau. Bukan untuk menyembah atau mengagungkan Nabi secara berlebihan. Dalam Islam itu sudah jelas bahwa hanya Allah Tuhan yang mesti disembah dan Nabi Muhammad hanya sebatas utusan yang diberikan amanah menyampaikan risalahNya kepada umat Manusia.

Pemaknaan Bid’ah

Peringatan maulib Nabi seperti yang kita lakukan sekarang ini memang tidak pernah dilaksanakan pada waktu Nabi masih hidup. Karenanya secara sosial kemasyarakatan umat Islam, peringatan maulid Nabi tergolong bid’ah hasanah, sebab tidak ada ayat Al-Quran atau hadist yang secara jelas menganjurkan peringatan maulid Nabi. Namun bila dirunut dari satu persatu isi kandungan maulid Nabi, seperti dzikir, mendengarkan riwayat hidup Nabi, membaca shalawat, pujian-pujian kepada Nabi, bergembira atas lahirnya beliau ke muka bumi, dan bersedekah sebagai jamuan saat maulid, hal tersebut sudah ada dalam dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah kulliyat yang telah ada pada masa Nabi, sehingga dalam perspektif ini maulid nabi tidak tergolong bid’ah.

Lagi pula tidak semua bid’ah tergolong haram. Sebab jika semua bid’ah haram, otomatis kodifikasi Al-Quran yang pernah dilakukan Abu Bakar, Umar dan Zaid bin Tsabit yang ditulis dalam bentuk mushaf juga haram. Oleh karena mereka khawatir  akan hilangnya Al-Quran karena meninggalnya para penghafal Al-Quran, kemudian mereka memngumpulkannya dalam bentuk mushaf. Jadi, sebenarnya haram tidaknya suatu bid’ah dalam Islam tetap tergantung kepada maslahah danmafsadatnya. Bahkan pernah suatu ketika dalam rangka mengumpulkan umat Islam agar shalat tarawih dengan satu Imam umar berkata “Ni’matil Bid’atu Hadzihi (Inilah sebaik-baiknya bid’ah)”.

Termasuk pula misalnya pendirian pesntren, rumah sakit, panti asukan dan hal lain yang bermanfaat, tidak haram. Ulama’ memberikan qayid (ikatan hukum) dalam memaknai hadis “kulla bid’atin dhalalah (setiap bid’ah itu sesat)” dengan bid’ah sayi’ah (bid’ah buruk). Oleh karena itu semua aktifitas yang belum pernah dilakukan Nabi pada masanya, namun dilakukan oleh sahabat dan tabi’in tidak bisa disebut bid’ah. Imam syafi’i pernah berkata, “perkara yang baru dan menyalahi Al-Quran, sunnah, ijma’ dan atsar adalah bid’ah dhalalah. Namun suatu hal yang pada dasarnya baik, maka hal itu terpuji”.

Dalam Al-Quran Allah berfirman “Dan semua kisah dari para rasul kami ceritakan padamu yang dengannya kami teguhkan hatimu” (QS. Hud: 120). Sudah jelas, melalui peringatan maulid Nabi, umat Islam akan mendengarkan sejarah kehidupan Nabi, sehingga melalui kisah tersebut, umat Islam diharapkan dapat meneguhkan keimanannya kepada Allah Swt. dan dapat mencontoh Nabi dalam kehidupannya sehari-hari.

Lebih jelasnya, buku “Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw” karya KH M Syarwani Abdan, secara jelas dan terperinci akan membahas penjelasan tentang maulid Nabi dengan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan dengan landasan nash. Sehingga pembaca dapat memahami peringatan maulid Nabi secara komprehensif dan tidak terjebak pada klaim bid’ah yang selama ini sering digembor-gemborkan oleh kelompok yang mengaku dirinya kelompok pemurnian tauhid.

*) Masduri, Kader Muda NU di IAIN Sunan Ampel Surabaya, alumnus Pesantren Nasy’atul Muta’allimin Gapura Sumenep.

Ketika Gus Dur membuka praktik perdukunan

Sejak pagi Pak Tua berkopyah hitam itu berada di ruang utama Masjid al-Munawwaroh, menanti Gus Dur rampung mengisi pengajian bersama para santrinya.

Pak tua ingin suwuk dari Gus Dur. Suwuk atau semacam semburan doa seorang dukun itu diyakini sanggup memancarkan keberkahan. Air yang disuwuk dapat jadi obat, tak hanya untuk penyakit, tapi juga stress, pikun, bebal, hingga sulit cari jodoh.

Usai pengajian, seketika Pak Tua menghampiri Gus Dur. Hadirin hanya bisa melongo.

“Gus, saya minta suwuk,” ucapnya sembari menyodorkan sebotol air mineral ukuran besar.

Entah apa yang dibaca, Presiden RI ke-4 ini tampak khusuk berkomat-kamit melayani permintaan Pak Tua.

“Wuussssss,” semburan Gus Dur menembus mulut botol air mineral.

“Terimakasih banyak Gus. Terimakasih!” wajah Pak Tua berbinar-binar dan segera menjauh dari tempat duduk Gus Dur.

Gus Dur telah memenuhi keinginan Pak Tua itu. Dan Pak Tua yakin sekali dengan keampuhan ilmu perdukunan Gus Dur. Para santri tersenyum. (nu.or.id)

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | free samples without surveys